MAKALAH MODEL PENGAWASAN LAKU


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang Masalah
Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dalam rangka menjamin terlaksananya kegiatan dengan konsisten. Secara umum pengawasan diartikan sebagai keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam terminologi pendidikan, pengawasan berarti upaya bantuan yang diberikan kepada guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, agar guru mampu membantu para siswa dalam belajar untuk menjadi lebih baik baik dari sebelumnya. Selain itu, pengawasan juga diartikan sebagai proses memberikan bantuan kepada guru agar mereka dapat melakukan tugas pembelajaran secara optimal dan setiap saat guru berupaya berbuat hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Definisi ini memberikan indikasi bahwa kegiatan supervisi terhadap suatu sekolah, terutama untuk menilai kualitas sekolah. Selain itu tujuannya juga untuk mengetahui keterbatasan bahkan kemampuan guru dalam peningkatan kompetensinya; untuk selanjutnya dapat ditindaklanjuti.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugastugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.
Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada. Tugas dan peranan guru sebagai pendidik profesional sesungguhnya sangat kompleks, tidak terbatas pada saat interaktif edukatif di dalam kelas, yang lazim disebut proses belajar mengajar. Guru juga bertugas sebagai administrator dan evaluator. Dalam interaksi edukatif unsur guru dan anak didik harus aktif, tidak mungkin terjadi proses edukatif bila hanya satu unsur yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental dan perbuatan.
1.2         Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka tujuan dari penulisan maklah ini adalah mahasiswa pendidikan fisika dapat:
1.             Mengetahui permasalahan kompetensi pedagogik guru.
2.             Mengetahui konsep dasar pedagogik.
3.             Memahami pentingnya ilmu mendidik (Pedagogik).
4.             Mengetahui definisi mengajar dalam pandangan modern.
5.             Mengetahui pengertian Model Pembelajaran.
6.             Mengetahui pengertian Pengawasan.
7.             Memahami pentingnya model pembelajaran pengawasan laku.
8.             Mengaplikasikan tahap-tahap pengawasan laku dalam proses pembelajaran.
9.             Mengetahui unsur pendukung pengawasan.











BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Kajian Pustaka
2.1.1   Permasalahan Kompetensi Pedagogik Guru
Proses pembelajaran yang efektif dan efesien dapat terwujud melalui usaha optimal dari guru. Guru perlu melakukan perencanaan proses pembelajaran dengan baik, pelaksanaan proses pembelajran, penilaian hasil pembelajaran, dan tindak lanjut hasil proses pembelajaran. Dalam kenyataannya, tahapan proses pembelajaran tersebut masih menemui banyak masalah. Silabus dan RPP yang dimiliki guru pada umumnya disusun bersama di KKG atau difotokopi dari sekolah atau lembaga lain dengan cara “copy file” atau “rename” tanpa adanya modifikasi dan revisi dalam rangka menyesuaikannya dengan peserta didik dan kondisi sekolah masing-masing. Bahkan sebagian guru menyusun RPP hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif (bahan naik pangkat dan bahan usulan sertifkasi profesi guru) bukan untuk pedoman dalam melakukan proses pembelajaran.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, masih banyak guru kurang memahami berbagai strategi pembelajaran, sehingga pembelajaran yang dilakukan guru kurang bervariasi. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian guru disekolah belum mampu menunjukkan adanya interaktif antara guru dan peserta didik. Guru cenderung hanya menyampaikan materi pelajaran yang hanya ada dalam buku teks peserta didik saja, tanpa diiringi dengan penjelasan dan contoh-contoh yang lebih kontekstual. Akibatnya peserta didik tidak menemukan konsep yang jelas, materi pelajaran yang disajikan guru susah diingat oleh peserta didik, dan keberanian bertanya serta percaya diri peserta didik untuk menjawab pertanyaan sangat kurang.
Permasalahan kompetensi pedagogik guru tidak hanya terlihat dari kemampuan mereka memilih dan melaksanakan metode dan strategi pembelajaran, tetapi lemahnya kompetensi pedagogik guru juga tercermin dari berbagai media terkait dengan berbagai kekerasan yang dilakukan guru terhadap peserta didik. Anak dipukuli, direspon dengan kata-kata kasar, diomeli omongan-omongannya tidak didengar, permasalahannya kurang dipedulikan, dan sebagainya. Kesemuaan itu adalah potret kekerasan guru terhadap peserta didik di sekolah. Kekerasan dalam dunia pendidikan akan berlanjut apabila komponen pendidikan (peserta didik, guru, karyawan, dan kepala sekolah) belum menyadari hakikat pendidikan sebagai sebuah proses, yakni proses menggali potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses untuk bergaul dengan lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh kembang dengan teman sebaya (Rifma, 2016:3-4)

2.1.2   Konsep Dasar Pedagogik
Pedagogik mengandung pengertian ilmu pendidikan. Saudagar dan indrus dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang lingkupmya terbatas pada interaksi edukatif antarpendidik dengan peserta didik. Sukardjo dan Komarudin dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik atau ilmu mendidik adalah ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai kedewasaan. Selanjutnya Suya dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik adalah teori tentang bagaimana sebaiknya pendidikan dilaksnakan dan dilakukan sesuai kaidah-kaidah mendidik, tentang sistem pendidikan, tujuan pendidikan, metode, dan media yang digunakan sampai kepada menyediakan lingkungan tempat proses pendidikan berlangsung. Sadulloh dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik sebagai suatu teori dan kajian yang secara teliti, kritis dan objektif mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakikat manusia, hakikat anak, hakikat tujuan pendidikan, serta proses pendidikan.
Ada beberapa poin penting yang dapat dipetik dari pengertian yang dikemukakan di atas, yaitu :
1.                  Pedagogik terkait dengan interaksi edukatif antarpendidik dengan peserta didik. Ionteraksi edukatif dimaknai sebagai interaksi yang terjadi anatara pendidik dan peserta didik mengandung nilai pendidikan. Artinya, perilaku yang ditampilkan pendidik mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah perilaku positif.
2.                  Pedagogik merupakan teori yang sistematis dalan mempersiapkan anak sampai ia mencapai kedewasaan. Teori dimaksudkan di sini adalah berbagai ilmu dan pemikiran yang dijadikan dasar bagi pendidik untuk membantu peserta didik mencapai kematangan sehingga ia menjadi pribadi yang mandiri.
3.                  Pedagogik lebih ditekankan kepada apa dan bagaimana sebaiknya pendidikan dilaksanakan. Dalam hal ini, pendidik perlu memahami kaidah-kaidah mendidik, tentang sistem pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan, sarana dan prasaran pendidikan, metode, dan media pendidikan yang digunakan, tempat proses pendidikan berlangsung.
4.                  Pedagogik terkait dengan kajian kritis tentang hakikat manusia dan bagaimana proses pendidikan  itu diberikan  kepada manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka pedagogik di sini diartikan sebagai suatu pemikiran atau pengetahuan tentang pelaksanaan proses pendidikan yang sesuai dengan kaidah-kaidah mendidik yang harus dimiliki guru untuk melaksanakan pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang di dalamnya berlangsung usaha pengembangan nilai sikap dan karakter peserta didik. Artinya, pembelajaran yang dilakukan tidak semata-semata usaha mentransformasikan ilmu kepada peserta didik, namun pada proses itu juga ditemukan upaya penanaman sikap ketakwaaan, budi pekerti, semangat, rasa ingin tahu, kejujuran, peduli sesama, rasa kesusilaan, dan berbagai nilai karakter lainnya. Pembelajaran yang dialogis diartikan sebagai pembelajaran yang diwarnai dengan adanya dialog antara-pendidik dengan peserta didik. Komunikasi tidak hanya berlangsung satu arah yang dapat menimbulkan berbagai tekanan pada diri anak. Dalam kondisi dialogis peserta didik mau membuka diri untuk menerima pesanan dan menyampaikan ide, kritikan, argumentasi, dan berbagai ungkapan perasaan lainnya sehingga peserta didik tidak merasa terbebani dengan sesuatu setelah pembelajaran berlangsung.

2.1.3   Pentingnya Ilmu Mendidik (Pedagogik)
Pendidikan apabila dikaji secara akademik dan empirik (pengalaman) akan memberikan makna yang lebih luas. Pertama, pendidikan bermakna praktik pendidikan dan kedua, pendidikan dimaknai sebagai teori pendidikan. Antara teori dan praktik pendidikan merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan, akan tetapi saling melengkapi satu sama lainnya. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan dapat dijadikan sumber/masukan menyusun teori pendidikan.
Pendidikan menyangkut semua aspek kepribadian manusia, meliputi sikap, penegtahuan, dan keterampilan. Sikap secara umum tergambar dalam dua bentuk perilaku yaitu sikap spritual dan sikap sosial. Pendidikan seharusnya mampu membentuk anak menjadi orang yang beriman dan bertakwa, menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya masing-masing. Sikap sosial mengacu kepada nilai-nialai karakter yang perlu dimiliki maka dalam kaitannya dengan dunia kemasyarakatan. Pada tataran ini, pendidikan harus mampu mempersiapkan sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, agar kelak mereka dapat menyesuaikan diri dan mampu hidup bergandengan dengan masyarakat. Kesemua itu bisa diwujudkan dengan praktik pendidikan yang dilandasi terori/ilmu mendidik (pedagogik).
Ilmu pendidikan sebagai teori perlu dipelajari karena praktik pendidikan tanpa didasari oleh teori tentang pendidikan akan membawa kita pada kemungkinan membuat kesalahan. Perbuatan pendidikan bukanlah perbuatan yang sembarangan, karena menyangkut kehidupan dan nasib anak manusia untuk kehidupan selanjutnya, yaitu manusia sebagai makhluk yang bermartabat dengan hak-hak asasinya. Melaksanakan pendidikan merupakan tugas moral yang tidak ringan. Ini berarti bahwa membuat kesalahan dalam mendidik anak, walaupun tidak disengaja dan porsinya relatif kecil, namun tidak dapat dianggap enteng.
Ilmu pendidikan sebagai teori perlu dipelajari karena menurut Sadulloh dalam Rifma (2016:12) , akan memberikan beberapa manfaat, sebagai berikut :
1.                  Dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mdngetahui arah serta tujuan mana yang akan dicapai.
2.                  Untuk menghindari atau sekurang-kurangnya mengurangi kesalahan kesalahan dalam praktik, karena dengan memahami teori pendidikan, seseorang akan mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, walaupun teori tersebut bukanlah resep yang jitu.
3.                  Dapat dijadikan tolak ukur, sampai di mana seseorang telah berhasil melaksanakan tugas pendidikan.
Meskipun teori pendidikan sudah dikembangkan para ahli dan dipelajari serta dipedomani ileh guru, namun dalam praktik pendidikan masih ditemukan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh guru sebagai pendidik (Rifma, 2016:9-12).
According to Nooruddin (2014), the quality of education is not only dependent on the excellence of resources and quality content but also the ability of the teachers to deal with the problem behavior within the classroom environment. The role of the school leadership is critical for the cultivation of a school atmosphere where there are systems in place, strategies are formed and implemented and assistance is available for teachers. In other words, when teachers are unable to deal with problem behavior, they should feel confident that support is available and will be readily provided by the school leadership. Maintains that, “Quality of education depends primarily on the way schools are managed, more than on the abundance of available resources, and that the capacity of schools toimprove teaching and learning is strongly influenced by the quality of leadership”. Theschool leaders should aim to create an atmosphere whereby teachers are able to run organized and effective classrooms in which the abilities of individual pupils are given due opportunity for development. School leadership can involve the parents in addressing their children’s behavior problems. Parent’s support can be valuable and beneficial for the improvement of problem behavior of the children. Additionally, “parents may have keen insights into the causes of their children’s behavioral problems, and they should also be invited to work with teachers and help in their children’s education”.

2.1.4   Definisi Mengajar dalam Pandangan Modern
Pengetian mengajar dalam arti modern yang dikemukakan Howard dalam Susanto (2016:20-22), mengajar adalah suatu aktivitas mebimbing atau menolong seseorang untuk mendapatkan, mengubah, atau mengembangkan keterampilan, sikap (attitude), cita-cita (ideals), pengetahuan (knowladge), dan pengahargaan (appreciation).
Dari definisi mengajar dalam pandangan modern ini, secara eksplisit tersirat pemahaman sebagai berikut:
1.                  Pendidikan bertujuan mengembangkan atau mengubah tingkah laku siswa terdiri dari dua aspek, yaitu : (a) aspek objektif yang bersifat struktural, yakni aspek jasmaniah dari tingkah laku; dan (b) aspek subjektif yang bersifat fungsional dari tingkah laku, yakni aspek rohaniah dari tingkah laku. Pendidikan dan pengajaran menghendaki suatu tingkah laku atau kepribadian yang memiliki ciri-ciri: (a) berkembang secara berkelanjutan sepanjang hidup manusia; (b) pola organisasi kepribadian berbeda untuk setiap orang dan bersifat univ dan (c) kepribadian bersifat dinamis, terus berubah melalui cara-cara tertentu.
2.                  Kegiatan pengajaran adalah dalam rangka mengorganisasikan lingkungan. Perkembangan tingkah laku seseorang adalah berkat pengaruh lingkungan. Lingkungan disini bukan saja terdiri dari lingkungan alam, tetapi meliputi lingkungan sosial. Bahkan lingkungan sosial inilah yang lebih memegang peranan. Melalui interaksi antara individu dan lingkungannya, maka siswa memperoleh pengalaman yang selanjutnya memengaruhi perilakunya, sehingga berubah dan berkembang. Untuk mengakomodasi kebutuhan ini, sekolah hendaknya mempersiapkan lingkungan yang dibutuhkan untuk maksud-maksud tersebut, seperti mempersiapkan program belajar, bahan pelajaran, metode belajar, dan alat pengajar. Selain itu, proses pembelajaran dipengaruhi juga oleh pribadi guru, suasana kelas, kelompok siswa, lingkungan luar sekolah, dan semua lingkungan belajar yang bermakna bagi perkembangan siswa.
3.                  Siswa dipandang sebagai organisme hidup. Dalam diri siswa terdapat potensi-potensi yang siap untuk berkembang. Siswa memilki kebutuhan, minat, tujuan, kemampuan, intelegensi, dan emosi. Individu siswa berbeda satu sama lainnya dan masing-masing berkembang menurut pola dan caranya sendiri. Karena ia hidup, maka ia melakukan banyak aktivitas dan mengadakan interaksi dengan lingkungannay. Jadi, aktivitas belajar itu sesungguhnya bersumber dalam diri sendiri. Guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi agar aktivitas itu menuju ke arah sasran yang diinginkan. Dengan kata lain, guru bertindak salaku organisator belajar kepada siswa yang potensial itu, sehingga tujuan di atas tercapai secara optimal.

Menurut O'Neill (2015:63), argues that the future learning theories in medical education will emphasise the social and contextual aspects of learning. He notes that: Socio-cultural learning theories, particularly situated learning, and communities of practice offer a useful theoretical perspective. They view learning as intimately tied to context and occurring through participation and active engagement in the activities of the community
Therefore when considering group work across a programme, it is important to consider its development throughout the programme, as presenting students with a once-off opportunity for group work does not allow them to incrementally build their team-working or self and peer assessment skills.

2.1.5   Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Suherman (2018:61-63), model pembelajaran merupakan produk dari teknologi pembelajaran. Bagaimanapun hebatnya suatu model, parameter keberhasilannya terletak pada hasil belajar siswa.
Ada beberapa asumsi penting yang menjadi parameter keberhasilan pengembangan model pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1.             Kriteria Tujuan
Untuk menilai seberapa juah tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka perlu dilakukan penilaian terhadap perilaku siswa pada awal kegiatan belajar dan prosedur pengajaran. Semua hasil penilaian itu penting dalam memberikan umpan balik bagi proses pengajaran secara keseluruhan untuk masa berikutnya.
2.             Kriteria Relevansi
Agar para lulusan kelak bisa hidup di masyarakat, bisa berkarya dan bekerja di masyarakat, perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan profesional yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan dunia kerja. Kesesuaian bukan hanya dalam keahliannya, tetapi juga dalam mutu atau standar penguasaan.
3.             Kriteria Konsistensi (Keajegan)
Keajegan mengandung makna bahwa pembelajaran bagi anak didik mengandung implikasi yaitu tidak saja memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada saat peserta didik belajar disekolah akan tetapi memberikan bekal kecerdasan dan keterampilan untuk dapat menumbuhkembangkan diri sebagai bekal menghadapi kehidupan di masa mendatang.

2.1.6   Pengertian Model Pengawasan Laku
Menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia,”Pengawasan merupakan usaha sistematis perusahaan untuk mencapai tujuan dengan cara membandingkan prestasi kerja dengan rencana kegiatan harus terus-menerus diawasi jika manajemen ingin tetap berada dalam batas ketentuan yang telah digariskan. Hasil nyata setiap kegiatan dibandingkan dengan rencana dan bila terdapat perbedaan besar, dapat diambil tindakan perbaikan”(Baihaqi, 2016:131-132).                                       Menurut Joyce (2016:502-503), model pembelajaran perilaku dan instruksi diilhami dari eksperimentasi conditioning klasik yang dilakukan oleh Pavlov (1927), kajian Thordike (1911, 1913) mengenai reward dalam pembelajaran, dan penelitian ang dilakuakn oleh Watson dan Rayner (1921) yang menerapkan prinsip-prinsip Pavlovian mengenai kekacauan psikologi yang dialami manusia. Science and Human Behavior (1953) karya B.F Skinner merupakan sumber utama dari literatur mengenai teori ini serta aplikasinya dalam pendidikan. Pada akhir 1950-an, para pendidik mulai menerapkan beberapa prinsip perilaku di sekolah, khususnya dalam bentuk menajemen kemungkinan dan materi pembelajaran yang telah terprogram.
Istilah seperti teori pembelajaran, teori pembelajaran sosial, modifikasi perilaku sudah lama digunakan oleh para pakar. Oleh karena masing-masing istilah tersebut umumnya dihubungkan dengan bentuk teori dasar tertentu. Istilah yang lebih netral, yakni teori perilaku agar lebih mencakup beberapa prosedur yang memunculkan operant dan prinsip counterconditioning.
Menurut Setiawati 2017 (:348-349), Pendidikan nasional bertujuan: “untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi waarga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3).  Pengertian secara khusus, karakter adalah nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdamak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terwujud dalam perilaku. Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Fungsi pendidikan karakter adalah sebagai berikut.
 1. Pengembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik”.
2. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik.
3. Penyaringan budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.  Kemudian, ruang lingkup atau sasaran dari pendidikan karakter adalah: 
1. Satuan pendidikan
2. Keluarga
3. Masyrakat                                                                                                   Membuat peserta didik berkarater adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut, yaitu nilai-nilai luhur pancasila. Seluruh butir-butir pancasila sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM terdiri atas tiga komponen, yaitu hakikat manusia, pancadaya kemanusiaan, dan dimensi kemanusiaaan.   Hakikat manusia adalah:
1. Makhluk bertakwa
2. Diciptkan saling sempurna dan berderajat paling tinggi
3. Khalifah di muka bumi
 4. Penyandang hak asasi manusia.
Menurut Ambarwati dkk (2015:3), Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman, dan belajar juga merupakan proses kreatif siswa untuk menciptakan makna-makna dari informasi baru berdasarkan pengalaman masa lalu. “Tidak ada belajar tanpa perbuatan. Hal ini disebabkan perkembangan intelektual anak dan emosinya dipengaruhi langsung oleh keterlibatan secara fisik dan mental serta lingkungannya, oleh karena itu dianjurkan hendaknya guru mengupayakan setiap pembelajaran melalui aktifitas kongkrit untuk semua tingkat.                                                                      Model Sistem Perilaku dalam Pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) Model ini dibangun atas dasar kerangka teori perubahan perilaku. Melalui teori ini peserta didik dibimbing untuk memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam jumlah yang kecil dan berurutan (Usman, 2012:258).
2.1.7   Pentingnya Model Pembelajaran Pengawasan Laku
Keberhasilan siswa dalam belajar bergantung pula pada model penyajian materi. Model penyajian materi yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan mudah dimengerti oleh para siswa tentunya berpengaruh secara positif terhadap keberhasilan belajar(Susanto, 2016:17).
Menurut Grossmen (2004:12), Because, like all people, students have the right to have their basic needs satisfied and cannot be expected to funtion adequately in the school if these needs are not satisfied, educators should place the highets priority on seeing that their students’ basic needs are being met. Although educators don’t have primary responsibility for ensuring that students’ basic needs are satisfied, they do play an important role in this area of concern.
Menurut Bayer et all (2017:36), social conditions at the school level a supportive social environment can encourage teachers to reflect on their practice, share ideas and talk openly about problems. hence, a respectful and positive social climate is central for engaging teachers in professional learning communities. co-operative improvement of pedagogic practice also requires openness to innovation within the school community.
Madsen (1981;6) menyatakan bahwa “dicipline is a process wherby certain relationship (association) are estabhlised. It is away of behaving conduciv to productive ends. First, it must be tought; secondly,  it must be learned, i,e., internalizesd. Love if it is to transcend mere rhetoric, is away of feeling and acting conducive to productive  ends. Most teacher enter the teaching professions because the truely love children( care obout student) and desire to help each children achieve his greatest potensial.                                                         Menurut Fischer in Frei And Walters (2007:28) , It is extremly important for you to control your emotions and not lose your temper. This sort of immediate reaction usually reflects a teachers’s own lack of confidance in dealing with a given situations. As the adult, you should model appropriate behavior even under highly stressful situations. If you lose selfcontrol, it becomes more difficult for you to make the proper decisions under the circumstances and also to retain the respect of your students. When you lose your cool, behavior becomes the focus of attention rather than the studentns and their learning                           Menurut Lacaze (2012), esearch Based Positive Behavioral Strategies: Importance of positive behavioral strategies. There have been numerous in-depth studies conducted pertaining to behavioral strategies. These behavioral strategies, if used effectively, assist in improving behaviors of students of various ages. Behavioral strategies prove vital in improving behaviors so that academic learning and growth occur. Successful behavioral strategies utilize approaches and measures that prevent problem behaviors from transpiring in contrast to implementing punishments to dissuade inappropriate behaviors.
Menurut Sulivan (2014), creating the rules is only the beginning. Once agreed upon, the rules should be taught to the students and posted in the classroom in both print and visual formats. The rules should be explained using clear, concise language. As well, they should be explained through the use of specific examples and role-playing. As well, the teacher should teach that rules may be different in special areas (e.g., the lunchroom, hallway, school bus, or playground). A rule should also be explained according to “what it is” and “what it is not.”
2.1.8   Tahap-Tahap Model Pengawasan Laku
Menurut  Diaz and Weed in Frei And Walters (2007:48),“students engage in learning when they recognize a conention between what they know and the learning exprience”. At the beginning of each lesson, the teacher will need to assess a student’s prior knowladge, or what he/she alredy knows about the coming subject. This not only guides the teacher’s instruction, but it also facilitates the students accessing their own knowladge. The teacher then provides any background knowladge needed. When there is very littke prior knowladge, the teacher uses scaffolding techniques to help students build schemas, “that is, contruct a framework of concepts that show the realtinships of old and new learning and how they are connected”. This whole process allows students to connect what they already know with what tehy are going to learn for true learning associations.
Menurut Pritchard (2008:13-14) In addition to using behaviourist methods in certain teaching situations,the methods can also be effective in establishing classroom behaviours. In a classroom environment, the teacher identifies the behaviours that are desirable and the behaviours that would be best discouraged. It is a somewhat natural impulse to develop punishments for those behaviours that need to be discouraged,yet research has indicated that positive reinforcements have a stronger and longerlasting effect. Behaviourism and the beginnings of theory bite-sized pieces is much more likely to be successful than a learning experience that simply consists of extensive reading with an end-of-term test as the only form of assessment.To further increase the likelihood of success, content can be arranged in such a manner as to ‘steer’ the child towards correct responses.Early success is likely to increase a child’s self-esteem and add to the child’s motivation to carry on.While some may find this method to be overly helpful or think of it as too much hand-holding,the end result is that the child has accomplished the goal and been able to meet specific learning objectives as planned.It is certainly the case that if behaviourist approaches were to be totally disregarded in planning for learning, a certain measure of what has been shown to be effective would be lost.However,as we will consider in later chapters, there are other theoretical perspectives that, in all probability, have more importance to the majority of learning situations, which teachers will be keen to establish. Behaviourism has a place in planning that teachers undertake,but it should most certainly not be relied upon alone as a perspective from which to plan all teaching and learning.                                                                                                   Menurut Banawi dalam Ode (2013:77-78), adapun langkah-langkah guru dalam pembelajaran IPA berbasis karakter dengan mengintegrasikan nilai-nilai: ketaatan beribadah, kejujuran, dan tanggung jawab yaitu:
a.              Kegiatan Awal
·                Guru membuka pelajaran dengan mengajak murid berdoa/membaca basmallah.
·                Guru mengecek kelengkapan alat/bahan/PR yang ditugaskan guru sebelumnya dan mengisi lembar observasi. 
·                Guru membaca terjemahan ayat Al-Quran suatu surat yang berkaitan dengan materi pelajaran.
·                Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
·                Guru menyampaikan sebuah peta konsep materi penanaman budi pekerti melalui pembelajaran IPA
a.              Kegiatan inti
·                Guru membagi murid dalam beberapa kelompok.
·                Dengan dibimbing guru, murid melakukan kegiatan percobaan atau mengerjakan lembar kegiatan murid (LKS)
·                Guru mempersilahkan tiap kelompok/ perwakilan murid untuk melaporkan hasil kegiatan.
·                Guru mengamati sikap murid dan mengisi lembar observasi.
·                Guru membagikan bacaan materi terkait materi penanaman budi pekerti melalui pembelajaran IPA
b.             Kegiatan Akhir
·                Guru dan murid menyimpulkan materi pelajaran.
·                Guru mengaitkan materi pelajaran dengan perbuatan atau kegiatan sehari-hari dengan nilai-nilai ketaatan beribadah, kejujuran dan tanggung jawab.
·                Guru membagikan penilaian sikap (pendalaman nilai) pada murid.
·                Guru menugaskan murid membaca dan mempersiapkan alat/ bahan serta jawaban pendalaman nilai untuk dibawa pada pelajaran berikutnay.
·                Guru menutup, mengakhiri pelajaran dengan membaca doa/ hamdalah bersama 
Menurut Joyce (2016:559), tahapan pengajaran model pengawasan laku adalah :
 Tahap 1: orientasi
1.        Guru menentukan materi pelajaran
2.        Guru meninjau pelajaran sebelumnya
3.        Guru menentukan tujuan pelajaran
4.        Guru menentukan prosedur pengajar
Tahap 2: Presentasi        
1)        Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru
2)        Guru menyajikan representasi visual atas tugas yang diberikan
3)        Guru memastikan pemahaman
Tahap 3: praktik yang terstruktur
1.        Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah
2.        Siswa merespon pertanyaan
3.        Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan memperkuat praktik yang telah benar
Tahap 4: praktik dibawah bimbingan
1)        Siswa berpraktik secara semi-independen
2)        Guru menggilir siswa untuk melakukan praktik dan mengamati praktik
3)        Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian, bisikan, maupun petunjuk
Tahap 5: praktik mandiri
1.        Siswa melakukan praktik secara mandiri di rumah atau dikelas
2.        Guru menunda respon balik dan memberikannya di akhir rangkaian praktik
3.        Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam periode waktu yang lama
 
2.1.9   Unsur Pendukung Pengwasan
A.           Sistem Pendukung
1.             Mutimedia
Menurut Dimitrios (2013:75), nevertheless, active learning involves students and helps them to have an in-depth understanding of the course through induction of practice; in other words, the inductive teaching has better results than productive teaching.. Have proposed several techniques to support and promote active learning:
   The use of visual media during the lectures (video, multimedia, slides).
    The encouragement of students to take notes during lectures.
    The use of computers during teaching.
   The encouragement of students to solve problems during the case study.
    The use of simulations, role playing and various graphics.
    The use of collaborative learning.
2.             Buku Teks dan LKS
Menurut Heinich dalam Yaumi (2018:107), mengupas bahan cetak mencakup buku teks, buku-buku fiksi dan non fiksi, buklet (buku kecil; brosur, buku kecil), pamflet, panduan belajar, buku panduan, lembar kerja, dokumen berupa kata. Buku teks merupakan teknologi yang harus ada dalam pelaksanaan pembelajaran. Adapun bahan cetak lainnya dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk memudahkan peserta didik dalam memahami segala sesuatu yang dipelajari. Setring terjadi, lembar kerja siswa (LKS) menjadi andalan bagi banyak guru dalam melaksanakan pembelajaran, padahal LKS yang dimaksud hanya digunakan sekedar untuk memberikan latihan dan pendalaman jika terdapat materi yang dipandang sulit untuk dipelajari secara mandiri oleh peserta didik. Jika dijadikan bahan utama, pendangkalan pemahaman terhadap konsep pun tidak dapat dihindari.
B.            Sistem Sosial
1)             Penguatan (Reinforcement)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:125), Reinforcement (penguatan) adalah prosedur untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku. Hukuman (Punishment)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:125-126), Pemberian hukuman bertujuan untuk menurunkan kemungkinan terulangnya perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman dari sekolah, skorsing, dan dimarahi guru adalah contoh darihukuman di sekolah.
2)             Kontrak Perilaku
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:126), (Behavior contract) Kontrak perilaku didefinisikan sebagai persetujuan resmi antara klien dengan individu yang mempengaruhi perilaku klien tersebut. Individu yang dimaksud meliputi guru, konselor, orangtua, pekerja sosial, dan teman sebaya klien. Menyebutkan beberapa tujuan dari kontrak perilaku, yaitu untuk mendapatkan komitmen untuk mengubah perilaku dan untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan perilaku yang dihasilkan.
3)             Peragaan (Modeling)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:126), penanganan lain yang dapat digunakan untuk meredakan perilaku mengganggu di kelas adalah dengan menggunakan modeling (peragaan).
4)             Aksi Reaksi
Menurut Yousda dan Arifin dalam Susanto (2016:10-11) untuk menjelaskan lebih lanjut ketiga spek tersebut berbagai model yang dapat mecakup ketiga aspek tersebut, yaitu:
a.                   Teknik pelaporan diri sendiri (self-report technique). Teknik pelaporan diri berbentuk respons seseorang terhadap sejumlah pertanyaan.
b.                  Observasi terhadap perilaku yang tampak (observation of behavior).
c.                   Sikap yang disimpulkan dari perilaku orang yang bersangkutan, dalam hal ini sikap di perkirakan berdasarkan tafsiran terhadap perkataan, tindakan dan tanda-tanda nonverbal, seperti gerakan muka atau badan seseorang.
1.2         Kajian Kritis
Permasalahan dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya terjadi pada peserta didik namun terkadang juga terjadi pada tenaga pendidik yakni guru. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang pedagogik membuat guru tidak mengerti bagaimana cara mengelola peserta didik di dalam kelas dengan baik. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu pendidikan atau pedagogik akan membantu tenaga pendidik dalam proses belajar dan mengajar. Terkadang tidak hanya pengetahuan saja yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran melainkan kurang pandainya guru dalam mengunakan strategi dalam belajar baik metode, pendekatan, dan model dalam belajar. Selain itu sikap peserta didik yang beraneka ragam juga harus guru perhatikan dan mentanggulangi dengan cara yang sesuai.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan diri peserta didk terutama meningkatkan perilaku positif dalam diri seorang peserta didik adalah model pembelajaran pengawasan laku. Model pembelajaran pengawsan laku adalah suatu acuan bagi calon pendidik dan yang telah menjadi pendidik dalam melakukan kegiatan belajar dan mengajar untuk memantau pengembangan perilaku dari peserta didik. Model ini berguna dalam mencegah terjadinya penyimpangan dari peserta didik dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Guru atau tenaga pendidik melakukan pembelajaran guna meningkatkan karakter dari peserta didik baik itu agama, budaya, sosial dan lain sebagainya dengan tahapan tahapan mengajar yang sesuai.
Perlu adanya pengawsan khusus terhadap perilaku peserta didik dalam kegiatan belajar dan mengajar. Guru sebagai faktor utama dalam melakukan pengawsan tersebut. Guru harus dapat menggunakan strategi dalam belajar dan mengajar guna acuan pengawsan tingkah laku peserta didik. Kemampuan akan pengawsan tersebut akan mendatangkan hasil belajar yang sesuai tujuan. Dalam hasil belajar peserta didik, bukan hanya pengetahuan saja yang menjadi tolak ukur dari keberhasilan mendidik namun sikap atau tingkah laku juga menjadi tolak ukur dari keberhasilan suatu proses belajar dan pembelajaran. Apabila pengawasan laku ini dalakukan dengan baik dengan menggunakan model dan metode yang sesuai peserta didik yang diharapkan dapat tercipta sesuai dengan perkembangan usianya





BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa kegiatan belajar dan mengajar pada era modern atau zaman sekarang tidak hanya sebatas kegiatan menuntut ilmu dan memberikan ilmu pengetahuan semata. Namun pendidikan adalah sebuah sistem yang komplek guna membina diri manusia menjadi manusia sesungguhnya. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kemanusia yang semakin tergerus seiring waktu berlalu. Maka guru sebagai tenaga pendidik yang berfungsi sebagai pengawas dan pembimbing terhadap perilaku siswa perlu untuk menerapkan sebuah model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajran pengawasan laku. Model pembelajaran pengawan laku ini berfungsi sebagai parameter sejauh mana peserta didik tersebut bertindak. Ketika peserta didik telah melewati batsa atau melenceng guru wajib untuk menegurnya sampai memberi sanksi yang ringan.
3.2         Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, baik dari segi penulisan dan tat letak atau urutannya. Guna sebagai acuan untuk revisi atau perbaikan mendatang maka perlu adanya saran dari para pembaca untuk maklah ini. Lewat makalah ini juga penulis mohon kepada Bapak Agus selaku dosen pembimbing untuk memberikan komentar terhadap kekurangan dalam penulisan makalah ini agar penulis mampu mengintropeksi dan menjadi semangat untuk pembuatan makalah ini dengan lebih baik lagi.









DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Mega Desi., dkk. 2015. PENERAPAN VARIASI METODE PEMBELAJARAN DALAM PENANAMAN KARAKTER SISWA SD MUHAMMADIYAH 8 SURABAYA MELALUI PROGRAM LESSON STUDY. 15(2). ISSN 1412-5889
Baihaqi. 2016. Pengawasan Sebagai Fungsi Manajemen Perpustakaan Dan Hubungannya Dengan Disiplin Pustakawan. 8(1)
Bayer, S., at al. 2017. Teaching Practices  and Pedagogical Innovation. USA : OECD Publishing
Dimitros, Belias. 2013. TRADITIONAL TEACHING METHODS VS. TEACHING THROUGH THE APPLICATION OF INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGIES IN THE ACCOUNTING FIELD: QUO VADIS?. Europan Scientific Journal. Vol 9 No 28. ISSN: 1857-7881
Drost. 1998. Sekolah : Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius
Frei, Shelly., Walters, Jim. 2007. Classroom Behavior and Discipline. USA: Shell Education
Grossman, Herbert. 2004. Classroom Behavior Management For Diserve and Inclusive School Third Edition. Inggris: Rowman Publishers
Cheng, Jaonan. 2012. The Effect Factor for Students’ Deviant Behavior. The Journal of Human Resource and Adult Learning.8(2)
Joyce, B., & Weil, M. 2016. Models Of Teaching. Mew Jersey : Prentice-Hall, inc
LaCaze, Donna Odom. 2012.   Classroom Behavior and Management for Teachers.   NATIONAL FORUM OF TEACHER EDUCATION JOURNAL. 22(3)
Nooruddin, Shirin. 2014. Student behavior management : School leader ’ s role in the eyes of the teachers and students. INTERNATIONAL JOURNAL OF WHOLE SCHOOLING.10(2)

Ode, Sismono La. 2013. Model Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional

O’Neill, G. 2015. Curriculum Design in Higher Education:                               Theory to Practice. Ireland: University College Dublin

Pritchard, Alan. 2008. Ways of learning. UK: British Library Cataloguing
Rifma. 2016. Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru. Jakarta : Kencana
Setiawati, Nanda Ayu. 2017. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PILAR PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA. 1(1).  ISSN 2598-2796
Suherman, ayi. 2018. Kurikulum Pembelajaran Penjas. Jawa Barat: UPI Sumedang Press
Sulivan, Anna M. 2014. Punish Them or Engage Them? Teachers’ Views of Unproductive Student Behaviours in the Classroom. Australian Journal of Teacher Education. 39(6)
Susanto, Ahmad. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar.  Jakarta: Prenadamedia
Usman, Muhammad Idris. 2012. MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN: ALAM SEKITAR, SEKOLAH KERJA, INDIVIDUAL, DAN KLASIKAL. 15(2)
Wicaksono, Taufiq Hendra. 2013. PERILAKU MENGGANGGU DI KELAS. Vol 8 No. 15. ISSN 1907-297X
Yaumi, M. 2018. Media dan Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Prenadamedia Group

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL INQUIRY

MAKALAH MODEL PBL (PROBLEM-BASED LEARNING)”

MAKALAH REMEDIAL