MAKALAH MODEL PENGAWASAN LAKU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Pengawasan
merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dalam rangka menjamin
terlaksananya kegiatan dengan konsisten. Secara umum pengawasan diartikan
sebagai keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan operasional guna menjamin
bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam terminologi pendidikan, pengawasan berarti upaya bantuan yang diberikan
kepada guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, agar guru mampu membantu
para siswa dalam belajar untuk menjadi lebih baik baik dari sebelumnya. Selain
itu, pengawasan juga diartikan sebagai proses memberikan bantuan kepada guru
agar mereka dapat melakukan tugas pembelajaran secara optimal dan setiap saat
guru berupaya berbuat hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Definisi
ini memberikan indikasi bahwa kegiatan supervisi terhadap suatu sekolah,
terutama untuk menilai kualitas sekolah. Selain itu tujuannya juga untuk
mengetahui keterbatasan bahkan kemampuan guru dalam peningkatan kompetensinya;
untuk selanjutnya dapat ditindaklanjuti.
Peran
guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan
tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugastugas pengawasan dan
pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan
anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup
dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.
Guru
sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas
anak-anak agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Tugas dan peranan guru sebagai pendidik profesional sesungguhnya sangat
kompleks, tidak terbatas pada saat interaktif edukatif di dalam kelas, yang
lazim disebut proses belajar mengajar. Guru juga bertugas sebagai administrator
dan evaluator. Dalam interaksi edukatif unsur guru dan anak didik harus aktif,
tidak mungkin terjadi proses edukatif bila hanya satu unsur yang aktif. Aktif
dalam arti sikap, mental dan perbuatan.
1.2
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka tujuan dari penulisan maklah ini adalah
mahasiswa pendidikan fisika dapat:
1.
Mengetahui permasalahan
kompetensi pedagogik guru.
2.
Mengetahui konsep dasar
pedagogik.
3.
Memahami pentingnya
ilmu mendidik (Pedagogik).
4.
Mengetahui definisi
mengajar dalam pandangan modern.
5.
Mengetahui pengertian
Model Pembelajaran.
6.
Mengetahui pengertian
Pengawasan.
7.
Memahami pentingnya
model pembelajaran pengawasan laku.
8.
Mengaplikasikan tahap-tahap
pengawasan laku dalam proses pembelajaran.
9.
Mengetahui unsur pendukung pengawasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kajian
Pustaka
2.1.1
Permasalahan
Kompetensi Pedagogik Guru
Proses
pembelajaran yang efektif dan efesien dapat terwujud melalui usaha optimal dari
guru. Guru perlu melakukan perencanaan proses pembelajaran dengan baik,
pelaksanaan proses pembelajran, penilaian hasil pembelajaran, dan tindak lanjut
hasil proses pembelajaran. Dalam kenyataannya, tahapan proses pembelajaran
tersebut masih menemui banyak masalah. Silabus dan RPP yang dimiliki guru pada
umumnya disusun bersama di KKG atau difotokopi dari sekolah atau lembaga lain
dengan cara “copy file” atau “rename” tanpa adanya modifikasi dan
revisi dalam rangka menyesuaikannya dengan peserta didik dan kondisi sekolah
masing-masing. Bahkan sebagian guru menyusun RPP hanya untuk memenuhi kebutuhan
administratif (bahan naik pangkat dan bahan usulan sertifkasi profesi guru)
bukan untuk pedoman dalam melakukan proses pembelajaran.
Dalam
pelaksanaan pembelajaran, masih banyak guru kurang memahami berbagai strategi
pembelajaran, sehingga pembelajaran yang dilakukan guru kurang bervariasi.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian guru disekolah belum mampu
menunjukkan adanya interaktif antara guru dan peserta didik. Guru cenderung
hanya menyampaikan materi pelajaran yang hanya ada dalam buku teks peserta
didik saja, tanpa diiringi dengan penjelasan dan contoh-contoh yang lebih
kontekstual. Akibatnya peserta didik tidak menemukan konsep yang jelas, materi
pelajaran yang disajikan guru susah diingat oleh peserta didik, dan keberanian
bertanya serta percaya diri peserta didik untuk menjawab pertanyaan sangat
kurang.
Permasalahan
kompetensi pedagogik guru tidak hanya terlihat dari kemampuan mereka memilih
dan melaksanakan metode dan strategi pembelajaran, tetapi lemahnya kompetensi
pedagogik guru juga tercermin dari berbagai media terkait dengan berbagai
kekerasan yang dilakukan guru terhadap peserta didik. Anak dipukuli, direspon
dengan kata-kata kasar, diomeli omongan-omongannya tidak didengar,
permasalahannya kurang dipedulikan, dan sebagainya. Kesemuaan itu adalah potret
kekerasan guru terhadap peserta didik di sekolah. Kekerasan dalam dunia pendidikan
akan berlanjut apabila komponen pendidikan (peserta didik, guru, karyawan, dan
kepala sekolah) belum menyadari hakikat pendidikan sebagai sebuah proses, yakni
proses menggali potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses
untuk bergaul dengan lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh kembang
dengan teman sebaya (Rifma, 2016:3-4)
2.1.2
Konsep
Dasar Pedagogik
Pedagogik
mengandung pengertian ilmu pendidikan. Saudagar dan indrus dalam Rifma
(2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak yang
ruang lingkupmya terbatas pada interaksi edukatif antarpendidik dengan peserta
didik. Sukardjo dan Komarudin dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa
pedagogik atau ilmu mendidik adalah ilmu atau teori yang sistematis tentang
pendidikan yang sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai
kedewasaan. Selanjutnya Suya dalam Rifma (2016:9), mengemukakan bahwa pedagogik
adalah teori tentang bagaimana sebaiknya pendidikan dilaksnakan dan dilakukan
sesuai kaidah-kaidah mendidik, tentang sistem pendidikan, tujuan pendidikan,
metode, dan media yang digunakan sampai kepada menyediakan lingkungan tempat
proses pendidikan berlangsung. Sadulloh dalam Rifma (2016:9), mengemukakan
bahwa pedagogik sebagai suatu teori dan kajian yang secara teliti, kritis dan
objektif mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakikat manusia, hakikat anak,
hakikat tujuan pendidikan, serta proses pendidikan.
Ada
beberapa poin penting yang dapat dipetik dari pengertian yang dikemukakan di
atas, yaitu :
1.
Pedagogik terkait
dengan interaksi edukatif antarpendidik dengan peserta didik. Ionteraksi
edukatif dimaknai sebagai interaksi yang terjadi anatara pendidik dan peserta
didik mengandung nilai pendidikan. Artinya, perilaku yang ditampilkan pendidik
mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah perilaku positif.
2.
Pedagogik merupakan
teori yang sistematis dalan mempersiapkan anak sampai ia mencapai kedewasaan.
Teori dimaksudkan di sini adalah berbagai ilmu dan pemikiran yang dijadikan
dasar bagi pendidik untuk membantu peserta didik mencapai kematangan sehingga
ia menjadi pribadi yang mandiri.
3.
Pedagogik lebih
ditekankan kepada apa dan bagaimana sebaiknya pendidikan dilaksanakan. Dalam
hal ini, pendidik perlu memahami kaidah-kaidah mendidik, tentang sistem
pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan, sarana dan prasaran
pendidikan, metode, dan media pendidikan yang digunakan, tempat proses
pendidikan berlangsung.
4.
Pedagogik terkait
dengan kajian kritis tentang hakikat manusia dan bagaimana proses
pendidikan itu diberikan kepada manusia.
Berdasarkan
uraian di atas, maka pedagogik di sini diartikan sebagai suatu pemikiran atau
pengetahuan tentang pelaksanaan proses pendidikan yang sesuai dengan
kaidah-kaidah mendidik yang harus dimiliki guru untuk melaksanakan pembelajaran
yang mendidik adalah pembelajaran yang di dalamnya berlangsung usaha
pengembangan nilai sikap dan karakter peserta didik. Artinya, pembelajaran yang
dilakukan tidak semata-semata usaha mentransformasikan ilmu kepada peserta
didik, namun pada proses itu juga ditemukan upaya penanaman sikap ketakwaaan,
budi pekerti, semangat, rasa ingin tahu, kejujuran, peduli sesama, rasa
kesusilaan, dan berbagai nilai karakter lainnya. Pembelajaran yang dialogis
diartikan sebagai pembelajaran yang diwarnai dengan adanya dialog antara-pendidik
dengan peserta didik. Komunikasi tidak hanya berlangsung satu arah yang dapat
menimbulkan berbagai tekanan pada diri anak. Dalam kondisi dialogis peserta
didik mau membuka diri untuk menerima pesanan dan menyampaikan ide, kritikan,
argumentasi, dan berbagai ungkapan perasaan lainnya sehingga peserta didik tidak
merasa terbebani dengan sesuatu setelah pembelajaran berlangsung.
2.1.3
Pentingnya
Ilmu Mendidik (Pedagogik)
Pendidikan
apabila dikaji secara akademik dan empirik (pengalaman) akan memberikan makna
yang lebih luas. Pertama, pendidikan
bermakna praktik pendidikan dan kedua,
pendidikan dimaknai sebagai teori pendidikan. Antara teori dan praktik
pendidikan merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan, akan tetapi saling
melengkapi satu sama lainnya. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga, pendidikan
di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan dapat dijadikan sumber/masukan
menyusun teori pendidikan.
Pendidikan
menyangkut semua aspek kepribadian manusia, meliputi sikap, penegtahuan, dan
keterampilan. Sikap secara umum tergambar dalam dua bentuk perilaku yaitu sikap
spritual dan sikap sosial. Pendidikan seharusnya mampu membentuk anak menjadi
orang yang beriman dan bertakwa, menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya masing-masing. Sikap sosial mengacu kepada
nilai-nialai karakter yang perlu dimiliki maka dalam kaitannya dengan dunia
kemasyarakatan. Pada tataran ini, pendidikan harus mampu mempersiapkan sikap dan
perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat, agar kelak mereka dapat menyesuaikan diri dan mampu hidup
bergandengan dengan masyarakat. Kesemua itu bisa diwujudkan dengan praktik
pendidikan yang dilandasi terori/ilmu mendidik (pedagogik).
Ilmu
pendidikan sebagai teori perlu dipelajari karena praktik pendidikan tanpa
didasari oleh teori tentang pendidikan akan membawa kita pada kemungkinan
membuat kesalahan. Perbuatan pendidikan bukanlah perbuatan yang sembarangan,
karena menyangkut kehidupan dan nasib anak manusia untuk kehidupan selanjutnya,
yaitu manusia sebagai makhluk yang bermartabat dengan hak-hak asasinya.
Melaksanakan pendidikan merupakan tugas moral yang tidak ringan. Ini berarti
bahwa membuat kesalahan dalam mendidik anak, walaupun tidak disengaja dan
porsinya relatif kecil, namun tidak dapat dianggap enteng.
Ilmu pendidikan sebagai
teori perlu dipelajari karena menurut Sadulloh dalam Rifma (2016:12) , akan
memberikan beberapa manfaat, sebagai berikut :
1.
Dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk mdngetahui arah serta tujuan mana yang akan dicapai.
2.
Untuk menghindari atau
sekurang-kurangnya mengurangi kesalahan kesalahan dalam praktik, karena dengan
memahami teori pendidikan, seseorang akan mengetahui mana yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, walaupun teori tersebut bukanlah resep yang jitu.
3.
Dapat dijadikan tolak
ukur, sampai di mana seseorang telah berhasil melaksanakan tugas pendidikan.
Meskipun
teori pendidikan sudah dikembangkan para ahli dan dipelajari serta dipedomani
ileh guru, namun dalam praktik pendidikan masih ditemukan berbagai kesalahan
yang dilakukan oleh guru sebagai pendidik (Rifma, 2016:9-12).
According to Nooruddin (2014), the quality of education is
not only dependent on the excellence of resources and quality content but also
the ability of the teachers to deal with the problem behavior within the
classroom environment. The role of the school leadership is critical for the
cultivation of a school atmosphere where there are systems in place, strategies
are formed and implemented and assistance is available for teachers. In other
words, when teachers are unable to deal with problem behavior, they should feel
confident that support is available and will be readily provided by the school
leadership. Maintains that, “Quality of education depends primarily on the way
schools are managed, more than on the abundance of available resources, and
that the capacity of schools toimprove teaching and learning is strongly
influenced by the quality of leadership”. Theschool leaders should aim to
create an atmosphere whereby teachers are able to run organized and effective
classrooms in which the abilities of individual pupils are given due
opportunity for development. School leadership can involve the parents in addressing
their children’s behavior problems. Parent’s support can be valuable and
beneficial for the improvement of problem behavior of the children.
Additionally, “parents may have keen insights into the causes of their
children’s behavioral problems, and they should also be invited to work with
teachers and help in their children’s education”.
2.1.4
Definisi
Mengajar dalam Pandangan Modern
Pengetian
mengajar dalam arti modern yang dikemukakan Howard dalam Susanto (2016:20-22),
mengajar adalah suatu aktivitas mebimbing atau menolong seseorang untuk
mendapatkan, mengubah, atau mengembangkan keterampilan, sikap (attitude), cita-cita (ideals), pengetahuan (knowladge), dan pengahargaan (appreciation).
Dari
definisi mengajar dalam pandangan modern ini, secara eksplisit tersirat
pemahaman sebagai berikut:
1.
Pendidikan bertujuan
mengembangkan atau mengubah tingkah laku siswa terdiri dari dua aspek, yaitu :
(a) aspek objektif yang bersifat struktural, yakni aspek jasmaniah dari tingkah
laku; dan (b) aspek subjektif yang bersifat fungsional dari tingkah laku, yakni
aspek rohaniah dari tingkah laku. Pendidikan dan pengajaran menghendaki suatu
tingkah laku atau kepribadian yang memiliki ciri-ciri: (a) berkembang secara
berkelanjutan sepanjang hidup manusia; (b) pola organisasi kepribadian berbeda
untuk setiap orang dan bersifat univ dan (c) kepribadian bersifat dinamis,
terus berubah melalui cara-cara tertentu.
2.
Kegiatan pengajaran
adalah dalam rangka mengorganisasikan lingkungan. Perkembangan tingkah laku
seseorang adalah berkat pengaruh lingkungan. Lingkungan disini bukan saja
terdiri dari lingkungan alam, tetapi meliputi lingkungan sosial. Bahkan
lingkungan sosial inilah yang lebih memegang peranan. Melalui interaksi antara
individu dan lingkungannya, maka siswa memperoleh pengalaman yang selanjutnya
memengaruhi perilakunya, sehingga berubah dan berkembang. Untuk mengakomodasi
kebutuhan ini, sekolah hendaknya mempersiapkan lingkungan yang dibutuhkan untuk
maksud-maksud tersebut, seperti mempersiapkan program belajar, bahan pelajaran,
metode belajar, dan alat pengajar. Selain itu, proses pembelajaran dipengaruhi
juga oleh pribadi guru, suasana kelas, kelompok siswa, lingkungan luar sekolah,
dan semua lingkungan belajar yang bermakna bagi perkembangan siswa.
3.
Siswa dipandang sebagai
organisme hidup. Dalam diri siswa terdapat potensi-potensi yang siap untuk
berkembang. Siswa memilki kebutuhan, minat, tujuan, kemampuan, intelegensi, dan
emosi. Individu siswa berbeda satu sama lainnya dan masing-masing berkembang
menurut pola dan caranya sendiri. Karena ia hidup, maka ia melakukan banyak
aktivitas dan mengadakan interaksi dengan lingkungannay. Jadi, aktivitas
belajar itu sesungguhnya bersumber dalam diri sendiri. Guru berkewajiban
menyediakan lingkungan yang serasi agar aktivitas itu menuju ke arah sasran
yang diinginkan. Dengan kata lain, guru bertindak salaku organisator belajar
kepada siswa yang potensial itu, sehingga tujuan di atas tercapai secara
optimal.
Menurut
O'Neill (2015:63), argues that the future
learning theories in medical education will emphasise the social and contextual
aspects of learning. He notes that: Socio-cultural learning theories,
particularly situated learning, and communities of practice offer a useful
theoretical perspective. They view learning as intimately tied to context and
occurring through participation and active engagement in the activities of the
community
Therefore when considering group work across a
programme, it is important to consider its development throughout the
programme, as presenting students with a once-off opportunity for group work
does not allow them to incrementally build their team-working or self and peer
assessment skills.
2.1.5
Pengertian
Model Pembelajaran
Menurut
Suherman (2018:61-63), model pembelajaran merupakan produk dari teknologi
pembelajaran. Bagaimanapun hebatnya suatu model, parameter keberhasilannya
terletak pada hasil belajar siswa.
Ada
beberapa asumsi penting yang menjadi parameter keberhasilan pengembangan model
pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1.
Kriteria Tujuan
Untuk
menilai seberapa juah tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka perlu dilakukan
penilaian terhadap perilaku siswa pada awal kegiatan belajar dan prosedur
pengajaran. Semua hasil penilaian itu penting dalam memberikan umpan balik bagi
proses pengajaran secara keseluruhan untuk masa berikutnya.
2.
Kriteria Relevansi
Agar
para lulusan kelak bisa hidup di masyarakat, bisa berkarya dan bekerja di
masyarakat, perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan profesional yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan dunia kerja. Kesesuaian bukan hanya
dalam keahliannya, tetapi juga dalam mutu atau standar penguasaan.
3.
Kriteria Konsistensi
(Keajegan)
Keajegan
mengandung makna bahwa pembelajaran bagi anak didik mengandung implikasi yaitu
tidak saja memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada saat
peserta didik belajar disekolah akan tetapi memberikan bekal kecerdasan dan
keterampilan untuk dapat menumbuhkembangkan diri sebagai bekal menghadapi
kehidupan di masa mendatang.
2.1.6
Pengertian
Model Pengawasan Laku
Menurut
Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia,”Pengawasan merupakan usaha sistematis
perusahaan untuk mencapai tujuan dengan cara membandingkan prestasi kerja
dengan rencana kegiatan harus terus-menerus diawasi jika manajemen ingin tetap
berada dalam batas ketentuan yang telah digariskan. Hasil nyata setiap kegiatan
dibandingkan dengan rencana dan bila terdapat perbedaan besar, dapat diambil
tindakan perbaikan”(Baihaqi, 2016:131-132). Menurut
Joyce (2016:502-503), model pembelajaran perilaku dan instruksi diilhami dari
eksperimentasi conditioning klasik
yang dilakukan oleh Pavlov (1927), kajian Thordike (1911, 1913) mengenai reward dalam pembelajaran, dan
penelitian ang dilakuakn oleh Watson dan Rayner (1921) yang menerapkan
prinsip-prinsip Pavlovian mengenai kekacauan psikologi yang dialami manusia.
Science and Human Behavior (1953) karya B.F Skinner merupakan sumber utama dari
literatur mengenai teori ini serta aplikasinya dalam pendidikan. Pada akhir
1950-an, para pendidik mulai menerapkan beberapa prinsip perilaku di sekolah,
khususnya dalam bentuk menajemen kemungkinan dan materi pembelajaran yang telah
terprogram.
Istilah
seperti teori pembelajaran, teori pembelajaran sosial, modifikasi perilaku
sudah lama digunakan oleh para pakar. Oleh karena masing-masing istilah
tersebut umumnya dihubungkan dengan bentuk teori dasar tertentu. Istilah yang
lebih netral, yakni teori perilaku agar lebih mencakup beberapa prosedur yang
memunculkan operant dan prinsip counterconditioning.
Menurut
Setiawati 2017 (:348-349), Pendidikan nasional bertujuan: “untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
waarga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 pasal 3). Pengertian secara
khusus, karakter adalah nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdamak baik terhadap lingkungan)
yang terpatri dalam diri dan terwujud dalam perilaku. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan
mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara
kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Fungsi pendidikan karakter
adalah sebagai berikut.
1. Pengembangan potensi dasar, agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik”.
2.
Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik.
3.
Penyaringan budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila. Kemudian, ruang lingkup atau sasaran dari
pendidikan karakter adalah:
1.
Satuan pendidikan
2.
Keluarga
3.
Masyrakat Membuat
peserta didik berkarater adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah
membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.
Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut, yaitu
nilai-nilai luhur pancasila. Seluruh butir-butir pancasila sepenuhnya
terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM terdiri atas tiga
komponen, yaitu hakikat manusia, pancadaya kemanusiaan, dan dimensi
kemanusiaaan. Hakikat manusia adalah:
1.
Makhluk bertakwa
2.
Diciptkan saling sempurna dan berderajat paling tinggi
3.
Khalifah di muka bumi
4. Penyandang hak asasi manusia.
Menurut
Ambarwati dkk (2015:3), Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari pengalaman, dan belajar juga merupakan proses kreatif siswa
untuk menciptakan makna-makna dari informasi baru berdasarkan pengalaman masa
lalu. “Tidak ada belajar tanpa perbuatan. Hal ini disebabkan perkembangan intelektual
anak dan emosinya dipengaruhi langsung oleh keterlibatan secara fisik dan mental
serta lingkungannya, oleh karena itu dianjurkan hendaknya guru mengupayakan setiap
pembelajaran melalui aktifitas kongkrit untuk semua tingkat. Model
Sistem Perilaku dalam Pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) Model ini
dibangun atas dasar kerangka teori perubahan perilaku. Melalui teori ini
peserta didik dibimbing untuk memecahkan masalah belajar melalui penguraian
perilaku ke dalam jumlah yang kecil dan berurutan (Usman, 2012:258).
2.1.7
Pentingnya
Model Pembelajaran Pengawasan Laku
Keberhasilan
siswa dalam belajar bergantung pula pada model penyajian materi. Model penyajian
materi yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan mudah dimengerti oleh
para siswa tentunya berpengaruh secara positif terhadap keberhasilan
belajar(Susanto, 2016:17).
Menurut
Grossmen (2004:12), Because, like all
people, students have the right to have their basic needs satisfied and cannot
be expected to funtion adequately in the school if these needs are not
satisfied, educators should place the highets priority on seeing that their
students’ basic needs are being met. Although educators don’t have primary
responsibility for ensuring that students’ basic needs are satisfied, they do
play an important role in this area of concern.
Menurut
Bayer et all (2017:36), social conditions
at the school level a supportive social environment can encourage teachers to
reflect on their practice, share ideas and talk openly about problems. hence, a
respectful and positive social climate is central for engaging teachers in
professional learning communities. co-operative improvement of pedagogic
practice also requires openness to innovation within the school community.
Madsen
(1981;6) menyatakan bahwa “dicipline is a
process wherby certain relationship (association) are estabhlised. It is away
of behaving conduciv to productive ends. First, it must be tought;
secondly, it must be learned, i,e.,
internalizesd. Love if it is to transcend mere rhetoric, is away of feeling and
acting conducive to productive ends.
Most teacher enter the teaching professions because the truely love children(
care obout student) and desire to help each children achieve his greatest
potensial. Menurut
Fischer in Frei And Walters (2007:28) , It
is extremly important for you to control your emotions and not lose your
temper. This sort of immediate reaction usually reflects a teachers’s own lack
of confidance in dealing with a given situations. As the adult, you should
model appropriate behavior even under highly stressful situations. If you lose
selfcontrol, it becomes more difficult for you to make the proper decisions
under the circumstances and also to retain the respect of your students. When
you lose your cool, behavior becomes the focus of attention rather than the
studentns and their learning Menurut Lacaze (2012), esearch Based Positive Behavioral
Strategies: Importance of positive behavioral strategies. There have been
numerous in-depth studies conducted pertaining to behavioral strategies. These
behavioral strategies, if used effectively, assist in improving behaviors of
students of various ages. Behavioral strategies prove vital in improving
behaviors so that academic learning and growth occur. Successful behavioral
strategies utilize approaches and measures that prevent problem behaviors from
transpiring in contrast to implementing punishments to dissuade inappropriate
behaviors.
Menurut Sulivan (2014), creating the rules is only the beginning. Once agreed upon, the rules
should be taught to the students and posted in the classroom in both print and
visual formats. The rules should be explained using clear, concise language. As
well, they should be explained through the use of specific examples and
role-playing. As well, the teacher should teach that rules may be different in
special areas (e.g., the lunchroom, hallway, school bus, or playground). A rule
should also be explained according to “what it is” and “what it is not.”
2.1.8
Tahap-Tahap
Model Pengawasan Laku
Menurut Diaz and Weed in Frei And Walters
(2007:48),“students engage in learning when they recognize a conention between
what they know and the learning exprience”. At the beginning of each lesson,
the teacher will need to assess a student’s prior knowladge, or what he/she
alredy knows about the coming subject. This not only guides the teacher’s
instruction, but it also facilitates the students accessing their own
knowladge. The teacher then provides any background knowladge needed. When
there is very littke prior knowladge, the teacher uses scaffolding techniques
to help students build schemas, “that is, contruct a framework of concepts that
show the realtinships of old and new learning and how they are connected”. This
whole process allows students to connect what they already know with what tehy
are going to learn for true learning associations.
Menurut Pritchard (2008:13-14) In addition to using behaviourist
methods in certain teaching situations,the methods can also be effective in
establishing classroom behaviours. In a classroom environment, the teacher
identifies the behaviours that are desirable and the behaviours that would be
best discouraged. It is a somewhat natural impulse to develop punishments for
those behaviours that need to be discouraged,yet research has indicated that
positive reinforcements have a stronger and longerlasting effect. Behaviourism
and the beginnings of theory bite-sized pieces is much more likely to be successful
than a learning experience that simply consists of extensive reading with an
end-of-term test as the only form of assessment.To further increase the
likelihood of success, content can be arranged in such a manner as to ‘steer’
the child towards correct responses.Early success is likely to increase a
child’s self-esteem and add to the child’s motivation to carry on.While some
may find this method to be overly helpful or think of it as too much
hand-holding,the end result is that the child has accomplished the goal and
been able to meet specific learning objectives as planned.It is certainly the
case that if behaviourist approaches were to be totally disregarded in planning
for learning, a certain measure of what has been shown to be effective would be
lost.However,as we will consider in later chapters, there are other theoretical
perspectives that, in all probability, have more importance to the majority of
learning situations, which teachers will be keen to establish. Behaviourism has
a place in planning that teachers undertake,but it should most certainly not be
relied upon alone as a perspective from which to plan all teaching and learning. Menurut
Banawi dalam Ode (2013:77-78), adapun langkah-langkah guru dalam pembelajaran
IPA berbasis karakter dengan mengintegrasikan nilai-nilai: ketaatan beribadah,
kejujuran, dan tanggung jawab yaitu:
a.
Kegiatan Awal
· Guru membuka pelajaran dengan mengajak murid berdoa/membaca basmallah.
· Guru mengecek kelengkapan alat/bahan/PR yang ditugaskan guru sebelumnya dan mengisi lembar observasi.
· Guru membaca terjemahan ayat Al-Quran suatu surat yang berkaitan dengan materi pelajaran.
· Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
· Guru menyampaikan sebuah peta konsep materi penanaman budi pekerti melalui pembelajaran IPA
a. Kegiatan inti
· Guru membagi murid dalam beberapa kelompok.
· Dengan dibimbing guru, murid melakukan kegiatan percobaan atau mengerjakan lembar kegiatan murid (LKS)
· Guru mempersilahkan tiap kelompok/ perwakilan murid untuk melaporkan hasil kegiatan.
· Guru mengamati sikap murid dan mengisi lembar observasi.
· Guru membagikan bacaan materi terkait materi penanaman budi pekerti melalui pembelajaran IPA
b. Kegiatan Akhir
· Guru dan murid menyimpulkan materi pelajaran.
· Guru mengaitkan materi pelajaran dengan perbuatan atau kegiatan sehari-hari dengan nilai-nilai ketaatan beribadah, kejujuran dan tanggung jawab.
· Guru membagikan penilaian sikap (pendalaman nilai) pada murid.
· Guru menugaskan murid membaca dan mempersiapkan alat/ bahan serta jawaban pendalaman nilai untuk dibawa pada pelajaran berikutnay.
· Guru menutup, mengakhiri pelajaran dengan membaca doa/ hamdalah bersama
Menurut
Joyce (2016:559), tahapan pengajaran model pengawasan laku adalah :
Tahap
1: orientasi
1. Guru
menentukan materi pelajaran
2. Guru
meninjau pelajaran sebelumnya
3. Guru
menentukan tujuan pelajaran
4. Guru
menentukan prosedur pengajar
Tahap 2: Presentasi
1) Guru
menjelaskan konsep atau keterampilan baru
2) Guru
menyajikan representasi visual atas tugas yang diberikan
3) Guru
memastikan pemahaman
Tahap 3: praktik yang terstruktur
1. Guru
menuntun kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah
2. Siswa
merespon pertanyaan
3. Guru
memberikan koreksi terhadap kesalahan dan memperkuat praktik yang telah benar
Tahap 4: praktik dibawah bimbingan
1) Siswa
berpraktik secara semi-independen
2) Guru
menggilir siswa untuk melakukan praktik dan mengamati praktik
3) Guru
memberikan tanggapan balik berupa pujian, bisikan, maupun petunjuk
Tahap 5: praktik mandiri
1. Siswa
melakukan praktik secara mandiri di rumah atau dikelas
2. Guru
menunda respon balik dan memberikannya di akhir rangkaian praktik
3. Praktik
mandiri dilakukan beberapa kali dalam periode waktu yang lama
2.1.9 Unsur
Pendukung Pengwasan
A.
Sistem Pendukung
1.
Mutimedia
Menurut Dimitrios (2013:75), nevertheless, active
learning involves students and helps them to have an in-depth understanding of
the course through induction of practice; in other words, the inductive
teaching has better results than productive teaching.. Have proposed several
techniques to support and promote active learning:
•
The use of visual media during the lectures (video, multimedia, slides).
•
The encouragement of students to take notes during lectures.
•
The use of computers during teaching.
•
The encouragement of students to solve problems during the case study.
•
The use of simulations, role playing and various graphics.
•
The use of collaborative learning.
2.
Buku Teks dan LKS
Menurut Heinich dalam Yaumi (2018:107), mengupas
bahan cetak mencakup buku teks, buku-buku fiksi dan non fiksi, buklet (buku
kecil; brosur, buku kecil), pamflet, panduan belajar, buku panduan, lembar
kerja, dokumen berupa kata. Buku teks merupakan teknologi yang harus ada dalam
pelaksanaan pembelajaran. Adapun bahan cetak lainnya dapat digunakan sebagai
bahan tambahan untuk memudahkan peserta didik dalam memahami segala sesuatu
yang dipelajari. Setring terjadi, lembar kerja siswa (LKS) menjadi andalan bagi
banyak guru dalam melaksanakan pembelajaran, padahal LKS yang dimaksud hanya
digunakan sekedar untuk memberikan latihan dan pendalaman jika terdapat materi
yang dipandang sulit untuk dipelajari secara mandiri oleh peserta didik. Jika
dijadikan bahan utama, pendangkalan pemahaman terhadap konsep pun tidak dapat
dihindari.
B.
Sistem Sosial
1)
Penguatan (Reinforcement)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:125), Reinforcement
(penguatan) adalah prosedur untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku. Hukuman
(Punishment)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:125-126), Pemberian
hukuman bertujuan untuk menurunkan kemungkinan terulangnya perilaku yang tidak
diinginkan. Hukuman dari sekolah, skorsing, dan dimarahi guru adalah contoh
darihukuman di sekolah.
2)
Kontrak Perilaku
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:126),
(Behavior contract) Kontrak perilaku didefinisikan sebagai persetujuan resmi
antara klien dengan individu yang mempengaruhi perilaku klien tersebut.
Individu yang dimaksud meliputi guru, konselor, orangtua, pekerja sosial, dan
teman sebaya klien. Menyebutkan beberapa tujuan dari kontrak perilaku, yaitu
untuk mendapatkan komitmen untuk mengubah perilaku dan untuk mendapatkan
persetujuan mengenai perubahan perilaku yang dihasilkan.
3)
Peragaan (Modeling)
Menurut Zimmerman dalam Wicaksono (2013:126), penanganan
lain yang dapat digunakan untuk meredakan perilaku mengganggu di kelas adalah
dengan menggunakan modeling (peragaan).
4)
Aksi Reaksi
Menurut
Yousda dan Arifin dalam Susanto (2016:10-11) untuk menjelaskan lebih lanjut
ketiga spek tersebut berbagai model yang dapat mecakup ketiga aspek tersebut,
yaitu:
a.
Teknik pelaporan diri
sendiri (self-report technique). Teknik
pelaporan diri berbentuk respons seseorang terhadap sejumlah pertanyaan.
b.
Observasi terhadap
perilaku yang tampak (observation of
behavior).
c.
Sikap yang disimpulkan
dari perilaku orang yang bersangkutan, dalam hal ini sikap di perkirakan
berdasarkan tafsiran terhadap perkataan, tindakan dan tanda-tanda nonverbal,
seperti gerakan muka atau badan seseorang.
1.2
Kajian Kritis
Permasalahan dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya terjadi pada
peserta didik namun terkadang juga terjadi pada tenaga pendidik yakni guru.
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang pedagogik membuat guru tidak
mengerti bagaimana cara mengelola peserta didik di dalam kelas dengan baik.
Pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu pendidikan atau pedagogik
akan membantu tenaga pendidik dalam proses belajar dan mengajar. Terkadang
tidak hanya pengetahuan saja yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran
melainkan kurang pandainya guru dalam mengunakan strategi dalam belajar baik
metode, pendekatan, dan model dalam belajar. Selain itu sikap peserta didik
yang beraneka ragam juga harus guru perhatikan dan mentanggulangi dengan cara
yang sesuai.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan diri
peserta didk terutama meningkatkan perilaku positif dalam diri seorang peserta
didik adalah model pembelajaran pengawasan laku. Model pembelajaran pengawsan
laku adalah suatu acuan bagi calon pendidik dan yang telah menjadi pendidik
dalam melakukan kegiatan belajar dan mengajar untuk memantau pengembangan
perilaku dari peserta didik. Model ini berguna dalam mencegah terjadinya
penyimpangan dari peserta didik dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas.
Guru atau tenaga pendidik melakukan pembelajaran guna meningkatkan karakter
dari peserta didik baik itu agama, budaya, sosial dan lain sebagainya dengan
tahapan tahapan mengajar yang sesuai.
Perlu
adanya pengawsan khusus terhadap perilaku peserta didik dalam kegiatan belajar
dan mengajar. Guru sebagai faktor utama dalam melakukan pengawsan tersebut.
Guru harus dapat menggunakan strategi dalam belajar dan mengajar guna acuan
pengawsan tingkah laku peserta didik. Kemampuan akan pengawsan tersebut akan
mendatangkan hasil belajar yang sesuai tujuan. Dalam hasil belajar peserta
didik, bukan hanya pengetahuan saja yang menjadi tolak ukur dari keberhasilan
mendidik namun sikap atau tingkah laku juga menjadi tolak ukur dari
keberhasilan suatu proses belajar dan pembelajaran. Apabila pengawasan laku ini
dalakukan dengan baik dengan menggunakan model dan metode yang sesuai peserta
didik yang diharapkan dapat tercipta sesuai dengan perkembangan usianya
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa kegiatan belajar dan
mengajar pada era modern atau zaman sekarang tidak hanya sebatas kegiatan
menuntut ilmu dan memberikan ilmu pengetahuan semata. Namun pendidikan adalah
sebuah sistem yang komplek guna membina diri manusia menjadi manusia
sesungguhnya. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kemanusia yang semakin tergerus
seiring waktu berlalu. Maka guru sebagai tenaga pendidik yang berfungsi sebagai
pengawas dan pembimbing terhadap perilaku siswa perlu untuk menerapkan sebuah
model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model
pembelajran pengawasan laku. Model pembelajaran pengawan laku ini berfungsi
sebagai parameter sejauh mana peserta didik tersebut bertindak. Ketika peserta
didik telah melewati batsa atau melenceng guru wajib untuk menegurnya sampai
memberi sanksi yang ringan.
3.2
Saran
Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, baik dari segi
penulisan dan tat letak atau urutannya. Guna sebagai acuan untuk revisi atau
perbaikan mendatang maka perlu adanya saran dari para pembaca untuk maklah ini.
Lewat makalah ini juga penulis mohon kepada Bapak Agus selaku dosen pembimbing
untuk memberikan komentar terhadap kekurangan dalam penulisan makalah ini agar
penulis mampu mengintropeksi dan menjadi semangat untuk pembuatan makalah ini
dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Mega Desi., dkk. 2015. PENERAPAN VARIASI METODE PEMBELAJARAN DALAM
PENANAMAN KARAKTER SISWA SD MUHAMMADIYAH 8 SURABAYA MELALUI PROGRAM LESSON
STUDY. 15(2). ISSN 1412-5889
Baihaqi. 2016. Pengawasan
Sebagai Fungsi Manajemen Perpustakaan Dan Hubungannya Dengan Disiplin
Pustakawan. 8(1)
Bayer, S., at al. 2017. Teaching Practices and Pedagogical Innovation. USA : OECD
Publishing
Dimitros, Belias. 2013. TRADITIONAL TEACHING METHODS VS. TEACHING THROUGH THE APPLICATION OF
INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGIES IN THE ACCOUNTING FIELD: QUO VADIS?.
Europan Scientific Journal. Vol 9 No 28. ISSN: 1857-7881
Drost.
1998. Sekolah : Mengajar atau Mendidik.
Yogyakarta: Kanisius
Frei, Shelly., Walters, Jim. 2007. Classroom Behavior and Discipline. USA:
Shell Education
Grossman, Herbert. 2004. Classroom Behavior Management For Diserve
and Inclusive School Third Edition. Inggris: Rowman Publishers
Cheng, Jaonan. 2012. The Effect Factor for Students’ Deviant Behavior. The Journal of Human Resource and Adult
Learning.8(2)
Joyce,
B., & Weil, M. 2016. Models Of
Teaching. Mew Jersey : Prentice-Hall, inc
LaCaze, Donna Odom. 2012. Classroom
Behavior and Management for Teachers.
NATIONAL FORUM OF TEACHER
EDUCATION JOURNAL. 22(3)
Nooruddin, Shirin. 2014. Student
behavior management : School leader ’ s role in the eyes of the teachers and
students. INTERNATIONAL JOURNAL OF WHOLE
SCHOOLING.10(2)
Ode, Sismono La. 2013. Model
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional
O’Neill, G. 2015. Curriculum Design in Higher Education: Theory to
Practice. Ireland: University College Dublin
Pritchard, Alan. 2008. Ways of learning. UK: British Library
Cataloguing
Rifma. 2016. Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru. Jakarta : Kencana
Setiawati, Nanda Ayu. 2017. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PILAR
PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA. 1(1). ISSN
2598-2796
Suherman, ayi. 2018. Kurikulum Pembelajaran Penjas. Jawa
Barat: UPI Sumedang Press
Sulivan,
Anna M. 2014. Punish Them or Engage Them? Teachers’ Views of Unproductive
Student Behaviours in the Classroom. Australian
Journal of Teacher Education. 39(6)
Susanto, Ahmad. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah
Dasar. Jakarta: Prenadamedia
Usman, Muhammad Idris. 2012. MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN: ALAM
SEKITAR, SEKOLAH KERJA, INDIVIDUAL, DAN KLASIKAL. 15(2)
Wicaksono,
Taufiq Hendra. 2013. PERILAKU MENGGANGGU
DI KELAS. Vol 8 No. 15. ISSN 1907-297X
Yaumi, M. 2018. Media dan Teknologi Pembelajaran.
Jakarta: Prenadamedia Group
Komentar
Posting Komentar