MAKALAH STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA “Model Pencapaian Konsep”
STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA
“Model Pencapaian
Konsep”
DOSEN PENGAMPU :
DWI AGUS KURNIAWAN, S.Pd., M.Pd
Drs. M. HIDAYAT, M.Pd
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 1 :
Imam Akbar (A1C317034)
Dialola Gustia
Mararengga(A1C317068)
Shania Nurdini
(A1C317078)
PENDIDIKAN FISIKA
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, Tuhan seruan alam yang selalu melimpahkan petunjuk, rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalan ini dengan judul “Pengetahuan
dan teknik pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan”.
Penulisan makalah ini bertujuan
dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Pengelolaan Pendidikan dan
menambah pengetahuan serta wawasan dalam bidang pendidikan khususnya dalam
bidang pendidikan fisika. Selama proses penulisan makalah ini hingga selesai
banyak sekali kesulitan-kesulitan yang penulis temui baik dalam proses mencari
sumber maupun dalam merangkai kata demi kata. Namun berkat usaha yang gigih dan
tidak pernah menyerah serta kerja sama yang baik dari kelompok, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan, penyusunan kata demi kata
maupun dalam penyusunan bahasa. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada
semua pihak untuk memberi sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran dari para
pembaca yang sifatnya membangun yang akan penulis terima dengan senang hati
demi penyempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Jambi, 27 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
1
1.2.Rumusan
Penulisan
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Model
Pencapaian Konsep
3
2.2.Tahap –
tahap Model Pencapaian Konsep
13
2.3.Penggunaan
Model Pencapaian Konsep
15
2.4.Dampak
Pencapaian Konsep
25
2.5.Unsur Unsur
Model Pencapaian Konsep .......................................................30
Kajian
Kritis
32
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
34
3.2 Saran
34
DAFTAR PUSTAKA
35
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Pendidikan
memegang peranan penting dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan
menentukan kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain pendidikan merupakan
tumpukan utama dalam menghadapi era globalisasi. Saat ini sistem pendidikan
telah mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Sekolah
sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendididkan berfungsi untuk menyeleksi
manusia berbakat, terampil dan mampu membawa masyarakat berkembang ke arah
kondisi yang dipersyaratkan oleh masa depan bangsa
Guru sebagai salah satu
komponen pendidikan dan merupakan suatu bidang profesi, mempunyai peranan yang
sangat vital didalam proses belajar mengajar untuk membawa anak didiknya kepada
kedewasaan dalam arti yang sangat luas. Bahkan boleh dikatakan bahwa
keberhasilan suatu proses belajar mengajar ini 60% terletak ditangan guru.
Oleh karena itu proses belajar
mengajar yang dibabaki oleh guru tidak akan pernah tenggelam atau digantikan
oleh alat atau lainnya. Dizaman modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang
ilmu dan teknologi telah merambah seluruh sektor kehidupan. Produk iptek telah
menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih praktis dan lebih mudah, sesuatu
yang sebelumnya tidak dapat dilakukan dan diperoleh saat ini dengan mudah dapat
segera diwujudkan termasuk didalam dunia pendidikan produk teknologi telah
menjadi guru kedua bagi anak.
Selain dari pada itu,
pendidikan yang hanya menggunakan metode-metode lama yang mana guru hanya
menerangkan dan memberi tugas kepada siswa, yang membuat siswa bosan, akhirnya
proses belajar-mengajar menjadi tidak menarik dan membosankan, yang akhirnya
tidak ada kemajuan didalam dunia pendidikan. Oleh karena itu perlu adanya
model-model pembelajaran yang dijadikan pedoman untuk guru agar proses belajar
mengajar lebih menarik yang nantinya mampu membentuk anak didiknya karena
kedewasaan seperti yang diharapkan.
1.2.
Rumusan
Masalah
1. Jelaskan
pengertian model pencapaian konsep ?
2.
Apa saja tahap – tahap model pencapaian konsep?
3.
Bagaimana penggunaan model pencapaian konsep?
4.
Bagaimana dampak dari model pencapaian konsep?
1.3.
Tujuan
1. Dapat
mengetahui pengertian model pencapaian konsep.
2. Dapat
mengetahui tahap – tahap model pencapaian konsep.
3. Dapat
mengetahui penggunaan model pencapaian konsep.
4. Dapat
mengetahui dari model pencapaian konsep.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Model
Pencapaian Konsep
Menurut Moore dalam (Risdawati, 2017, 2) Konsep
didefinisikan secara ostensif, artinya dapat diidentifikasi dengan menunjuk
entitas tertentu memiliki keberadaan yang nyata (yaitu benda fisik). Namun,
ditetapkan konsep adalah kategorisasi abstrak, sering didefinisikan dalam hubungannya dengan konsep lain (yaitu demokrasi,
kebebasan, teman). Konsep yang ditetapkan mungkin lebih menantang belajar karena sifat
abstrak dan kurang nyata. Konsep disusun
secara efisien ke dalam struktur hirarkis yang menandakan hubungan
dengan konsep lainnya. Struktur ini membentuk taksonomi yang menggambarkan
bagaimana mengkoordinasikan, mengaudit, mengkoordinasikan, dan mengasosiasikan
konsep bawahan satu sama lain.
Model penemuan
konsep,menurut tokoh Jerome Brunner tujuannya dirancang terutama untuk
mengembangkan penalaran induktif, tetapi untuk perkembangan dan analisis konsep
(Andayani. 2015:141).
Menurut
Bruner,
dkk dalam (Yolhendri, 2016, 26) model
penemuan konsep relativ sama dengan model induktif, yaitu dirancang untuk
mengajarkan konsep dan membantu siswa lebih efektif dalam mempelajari konsep.
Model ini merupakan metode efisien dalam menyajikan informasi yang tersusun dan
terencanadari ruang lingkup topik yang luas bagi siswa pada tiap tingkatan.
Pada teori Joyce &
Weil mengartikan bahwa model concept attainment adalah model pembelajaran yang
dirancang untuk menata atau menyusun data sehingga konsep-konsep penting dapat
dipelajari secara tepat dan efisien. Model ini memiliki pandangan bahwa para
siswa tidak hanya dituntut untuk mampu membentuk konsep melalui proses
pengklasifikasian data akan tetapi mereka juga harus dapat membentuk susunan
konsep dengan kemampuan sendiri. (Martala Sari, Jeli Apriani, 2017:138)
Model pembelajaran
pemerolehan konsep adalah proses mengidentifikasi dan mendefinisikan konsep
dengan jalan menemukan atributnya yang paling esensial sesuai dengan pengertian konsep yang dipelajari.
Atribut tersebut harus membedakan contoh
konsep itu dengan yang bukan contoh konsep. Oleh karena itu model
pembelajaran pemerolehan konsep (Concept Attainment) adalah model pembelajaran
induktif yang dirancang membantu siswa segala umur untuk belajar konsep
sekaligus mempraktikkan keterampilan berpikir analitis. (Miftakhul Ilmi,2017:2)
Model pencapaian konsep
adalah jenis penyelidikan terstruktur yang membantu siswa tentukan perbedaan
antara informasi yang relevan dan yang tidak relevan, amati, klasifikasikan,
dan menarik kesimpulan. Sebagai siswa memeriksa data dan mencari atribut
kritis, mereka berkembang dalam kemampuan berpikir kritis. Berpikir harus
menjadi bagian mendasar dari kursus sains manapun. Proses ini meningkatkan
pembelajaran jangka panjang dan pengembangan keterampilan penalaran induktif.
Pengembangan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan induktif ini
digunakan dengan konsep biologi agar siswa dapat memperoleh keterampilan dan
belajar konsep.(Joy R. Mayer,2017:11)
Model concept
attainment lebih memfokuskan pada pengembangan berpikir kritis siswa dalam
bentuk menguji hipotesis. Dalam pembelajaran harus ditekankan pada analisis
siswa terhadap hipotesis yang ada dan mengapa hipotesis itu diterima,
dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus dilatih dalam menciptakan jenis-jenis
kesimpulan, seperti membuat contoh penyangkal atau non-contoh, dan sebagainya.
Penerapan model pembelajaran ini sangat menekankan pada dua aspek tersebut,
yaitu pengembangan konsep dan korelasi antara konsep yang terkait erat, serta
latihan berpikir kritis terutama dalam merumuskan dan menguji hipotesis. (Nazar
Muhammad, Djufri, Muhibbuddin, 2017:14)
Model
pencapaian konsep adalah mencari dan menemukan manifestasi yang digunakan untuk
mendeteksi contoh dari non-contoh kelas Dengan kata lain, dalam model ini
peserta didik membandingkan contoh yang tidak termasuk manifestasi dan dengan
demikian menemukan manifestasi subjek yang sudah ada di benak guru, model ini
penting untuk dipelajari bagaimana klasifikasi, cara berpikir dan bagaimana
cara menerima konsep kepada siswa dan guru model harus mendukung dan membimbing
asumsi siswa. Apalagi sudah dipilih dan diatur masuk konsep sampel positif dan
negatif dan mengarahkan peserta didik untuk mencapai konsep ini. Model ini
memungkinkan siswa untuk melakukannya konseptualisasi maju, konsep spesifik,
penalaran induktif, dominasi dan pengetahuan tentang penglihatan, perspektif,
toleransi terhadap ambiguity as dan kepekaan terhadap penalaran logis dalam
komunikasi. (Golnaz Ostad, Javad Soleymanpour,2014:2)
Model pembelajaran pencapaian konsep adalah
suatu model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep pada siswa,
dimana guru mengawali pengajara dengan menyajikan data atau contoh, kemudian
guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep (concept
attainment) merupakan proses mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat
digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang
tidak tepat dari berbagai kategori Risdawati, dkk. 2017 : 122)
Academic self-concept is defined as
the individual’s assessment of his or her ability to learn in the school
context in comparison to relevant others in the school (Brookover, 1959). The
non-academic self-concept is about the perception of oneself in the
non-academic activities (Suntonrapot, Auyporn & Thaweewat, 2009). In this
study, the non-academic self-concept comprised the aspects of social, physical,
moral and ethical, personal and family. According to Fitts and Warren (1996),
physical self-concept describes a person’s view of his or her health,
appearance, physical skills and sexuality, moral and ethic self-concept measures
people’s satisfaction with their own conduct; it is related to the sense of
being able to control one’s own impulses and behaviour. Personal self-concept
provides input on a person’s sense of adequacy and self-determination apart
from physical attributes or relationship with others. Family self-concept
reflects how people view themselves in relation to their family and close
associates. Social self-concept gives indication on how individuals perceive
themselves in relation to peers, besides family members and close friends ( Ishak, 2014 : 184)
Self-concept is defined as a general view about oneself
across various sets of specific domains and perceptions based on self-knowledge
and evaluation of values through experiences in relation to one’s environment
according to Eccles (2005). General self-concept consists of academic
self-concept, social self-concept, physical self-concept and emotional
self-concept. Referring to Yahaya (2000) concluded that our academic self-
concept relates to how well we do in school or how we learn. There are two
levels
: a general academic self-concept of
how good we are overall and a set of specific content-related self-concepts
that describe how good we are in math, science, language, arts, social science,
etc Yahaya (2000).
Self – concept is an idea of the self-constructed from the
beliefs one holds about oneself and the response of others. It is a judgment of
oneself as well as an attitude toward the self and encompasses beliefs about
oneself. Self-concept is the construct that negotiates these two selves. In
other words, it connotes first the identification of the ideal self as separate
from others, and second, it encompasses all the behaviors vetted in the actual
self that you engage in to reach the ideal self.
The actual self is built on self-knowledge. Self-knowledge
is derived from social interactions that provide insight into how others react
to us and the ideal self is the self that we imagined to be.
According to Baumeister (1999)
provides the following self-concept definition:"The individual's belief
about himself or herself, including the person's attributes and who and what
the self is".
Stanley Hall (1904) described adolescence as a period of
great “storm and stress”, corresponding to the time when the human race was in
a turbulent, transitional stage on the way to becoming civilized (Lama Majed
Al-Qaisy and Jihad Turki, 2011). Adolescence is the period of heightened
sensitivity for rapid learning and of critical acquisitions which determine the
general style of adult life. Adolescence is the period of transition from a
relative dependent childhood to the psychological, social and economic
self-sufficiency of adulthood (Shubhangi Kamble, 2009). It is the time during
which many developmental changes take place in the individual like the way he
thinks, looks and behaves. Adolescence is the period of time when the surge of
life reaches its highest peak (Jersild, 1963). Adolescence can be a time of
high risk for children, where newfound freedoms can result in decisions that
drastically open up or close off life opportunities. Achievement during this
period can be a stepping stone for the forthcoming year. Only if an adolescent
has good achievement motivation and self-concept he can succeed in life (narasimban, 2018: 152-153)
Menurut Cokley dalam
Mazlan, 2017, 71-73) definition of academic self-concept can be broadly considered to be how
a student views his or her academic ability when compared to other students.
Another definition of academic self-concept by Ireson and Hallam (2009) ‘it can
be defined as student’s perception of their competence of, involvement in and
interest in school according’. K. S. Liu, Cheng, Chen, and Wu (2009) stated
that academic self-concept used in the present study is operationally defined
as students’ perception of their competence and their commitment to, and
involvement in and interest in schoolwork. Another academic self-concept
explanation is the portion of the self-concept construct related specifically
to learning.
One's self-concept (also called self-construction, self-identity, or
self-perspective) is a collection of beliefs about oneself that includes
elements such as academic performance, gender roles and sexuality, and racial
identity. Generally, self-concept embodies the answer to "Who am I?" One's self-concept is made up of
self-schemas, and their past, present, and future selves. Self-concept
is distinguishable from self-awareness, which refers to the extent to which self-knowledge is
defined, consistent, and currently applicable to one's attitudes and
dispositions. Self-concept also differs from self-esteem: self-concept is a
cognitive or descriptive component of one's self (e.g. "I am a fast
runner"), while self-esteem is evaluative and opinionated (e.g. "I
feel good about being a fast
runner").
Academic achievement is a dynamic process. It plays a very significant
and vital role in the attainment of harmonious development of child in all
walks of life. Academic Achievement in general refers to the degree of
proficiency attained in some specific area, concerning some scholastic and academic
work. Academic achievement or (academic) performance is the outcome of
education — the extent to which a student, tea cher or institution has achieved
their educational goals. Academic achievement is commonly measured by
examinations or continuous assessment but there is no general agreement on how
it is best tested or which aspects are most important — procedural knowledge
such as skills or declarative knowledge such as facts. When students feel safe,
engaged, and respected, they can focus on their academic goals. Effective
character educators ensure that these needs are met. Character education is the
foundation upon which students can reach academic achievement. It’s not just
about teaching kids to be good. It’s teaching them to be their best. According to Crow and Crow (1956) achievement means the
extent to which learner is profiting from instructions in given area of learning. Academic Achievement is the
outcome of education, the extent to which a student, teacher or institution has
achieved their educational goals. This is measured either by examination or
continuous assessments and the goal may, differ from individual to another. Torres (1994) defined academic
achievement as the attained ability or degree of competence in school task
usually measured by standardized test and expressed in grades or units based on
worms derived from a wide sampling of pupil’s performance. Ker linger (1995) Stated that academic achievement is a complex phenomenon.
It is an observation of certain behaviour of children which are associated with the Mastery of learning of
school task, reading tests, reading words, doing arithmetic problems, drawing
pictures so on (Lone,
2016: 19)
According to Drew and Watkins (1998), self-concept is a
psychological construct which refers to a cluster of ideas and attitudes an
individual holds about himself/herself. Mwamwenda (1995) regards self-concept
as a person’s way of perceiving himself/herself and may be either positive or
negative. In this study, academic self-concept is regarded as the main
component of the self-concept. Cokley (2000) defines academic self-concept as
“attitudes, feelings and perceptions relative to one’s intellectual or academic
skills”. The same author considers academic self-concept to be how a student
views his/her academic ability when compared with other students. Students
attach a lot of importance to academic ability, so that self-acceptance is
based largely on cognitive abilities (Cokley 2000). A student with a negative
academic self-concept, for example, might just avoid studying hard because he
would regard the subject content as too difficult. McCoach and Siegle (2003)
point out that academic self-concept involves a description and an evaluation
of one’s perceived academic abilities and encompasses beliefs of self-worth
associated with one’s perceived academic competence. These authors state
further that students compare their own performance with that of their
classmates (an internal comparison). This implies that students’ academic
self-concepts are determined by their perceptions of their academic ability in
an area as well as their assessment of their academic standing relative to
their classmates (McCoach and Siegle 2003). The same authors regard academic
self-concept as a significant predictor of academic achievement (Ofori,
2017 : 64)
Terjemahan:
Konsep diri akademik
didefinisikan sebagai penilaian individu tentang kemampuannya untuk belajar
dalam konteks sekolah dibandingkan dengan orang lain yang relevan di sekolah
(Brookover, 1959). Konsep diri non-akademik adalah tentang persepsi
diri dalam kegiatan non-akademik (Suntonrapot, Auyporn & Thaweewat, 2009). Dalam penelitian ini,
konsep diri non akademik terdiri dari aspek sosial, fisik, moral dan etika,
pribadi dan keluarga. Menurut Fitts dan Warren (1996), konsep-diri fisik
menggambarkan pandangan seseorang tentang kesehatannya, penampilan,
keterampilan fisik dan seksualitas, konsep-diri moral dan etika mengukur
kepuasan orang-orang dengan perilaku mereka sendiri; ini terkait dengan perasaan
mampu mengendalikan dorongan dan perilaku seseorang.Konsep diri pribadi
memberikan masukan pada rasa kecukupan dan penentuan nasib sendiri seseorang
terlepas dari atribut fisik atau hubungan dengan orang lain. Konsep diri keluarga
mencerminkan bagaimana orang memandang diri mereka dalam hubungannya dengan
keluarga dan rekan dekat mereka. Konsep-diri sosial memberi
indikasi tentang bagaimana individu memandang diri mereka dalam hubungannya
dengan teman sebaya, selain anggota keluarga dan teman dekat.
Konsep diri didefinisikan
sebagai pandangan umum tentang diri sendiri di berbagai set domain dan persepsi
tertentu berdasarkan pengetahuan diri dan evaluasi nilai melalui pengalaman
dalam kaitannya dengan lingkungan seseorang menurut Eccles (2005). Konsep-diri umum terdiri
dari konsep-diri akademik, konsep-diri sosial, konsep-diri fisik dan
konsep-diri emosional. Mengacu pada Yahaya (2000) menyimpulkan bahwa
konsep diri akademik kita berhubungan dengan seberapa baik kita di sekolah atau
bagaimana kita belajar. Ada dua tingkatan : konsep diri akademik umum
tentang seberapa bagus kita secara keseluruhan dan satu set konsep-diri
spesifik yang berhubungan dengan konten yang menggambarkan seberapa baik kita
dalam matematika, sains, bahasa, seni, ilmu sosial, dll. Yahaya (2000) ).
Konsep diri adalah gagasan
tentang diri yang dibangun dari keyakinan yang dipegang seseorang tentang diri
sendiri dan respon orang lain. Ini adalah penilaian diri sendiri serta sikap
terhadap diri sendiri dan mencakup keyakinan tentang diri sendiri. Konsep diri adalah
konstruksi yang menegosiasikan kedua diri ini. Dengan kata lain, ini
berkonotasi pertama-tama identifikasi diri ideal sebagai terpisah dari yang
lain, dan kedua, ia mencakup semua perilaku yang diperiksa dalam diri yang
sebenarnya yang Anda lakukan untuk mencapai diri ideal.
Diri yang sebenarnya
dibangun berdasarkan pengetahuan diri. Pengetahuan diri berasal
dari interaksi sosial yang memberikan wawasan tentang bagaimana orang lain
bereaksi terhadap kita dan diri ideal adalah diri yang kita bayangkan.
Menurut Baumeister (1999)
memberikan definisi konsep diri berikut: "Keyakinan individu tentang
dirinya sendiri, termasuk atribut seseorang dan siapa dan apa diri itu".
Stanley Hall (1904)
menggambarkan masa remaja sebagai periode “badai dan stres” besar, sesuai
dengan waktu ketika umat manusia berada dalam tahap transisi yang bergolak
dalam perjalanan untuk menjadi beradab (Lama Majed Al-Qaisy dan Jihad Turki,
2011 ). Masa remaja adalah periode kepekaan yang meningkat untuk
pembelajaran cepat dan akuisisi kritis yang menentukan gaya umum kehidupan
dewasa. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak yang
relatif tergantung pada kemandirian psikologis, sosial dan ekonomi dari masa
dewasa (Shubhangi Kamble, 2009). Ini adalah waktu di mana
banyak perubahan perkembangan terjadi pada individu seperti cara dia berpikir,
melihat, dan berperilaku. Masa remaja adalah periode waktu ketika gelombang
kehidupan mencapai puncak tertingginya (Jersild, 1963). Masa remaja dapat menjadi
waktu risiko tinggi bagi anak-anak, di mana kebebasan yang baru ditemukan dapat
menghasilkan keputusan yang secara drastis membuka atau menutup peluang hidup. Pencapaian selama periode
ini bisa menjadi batu loncatan untuk tahun yang akan datang. Hanya jika seorang remaja
memiliki motivasi berprestasi dan konsep diri yang baik ia dapat berhasil dalam
kehidupan.
Cokley (2000) definisi
konsep diri akademik dapat secara luas dianggap bagaimana seorang siswa
memandang kemampuan akademiknya ketika dibandingkan dengan siswa lain. Definisi lain dari konsep
diri akademik oleh Ireson dan Hallam (2009) 'dapat didefinisikan sebagai
persepsi siswa tentang kompetensi mereka, keterlibatan dan minat di sekolah
yang sesuai'. KS Liu, Cheng, Chen, dan Wu (2009) menyatakan bahwa konsep
diri akademik yang digunakan dalam penelitian ini secara operasional
didefinisikan sebagai persepsi siswa tentang kompetensi mereka dan komitmen
mereka untuk, dan keterlibatan dalam minat dalam sekolah. Penjelasan konsep diri
akademik lainnya adalah bagian dari konsep konsep diri yang berkaitan dengan
pembelajaran (Hardy, 2013).
Konsep diri seseorang (juga
disebut konstruksi diri, identitas diri, atau perspektif diri) adalah kumpulan
keyakinan tentang diri sendiri yang mencakup unsur-unsur seperti kinerja
akademik, peran gender dan seksualitas, dan identitas ras. Umumnya, konsep diri
mewujudkan jawaban untuk "Siapa saya?" Konsep
diri seseorang terdiri dari skema diri, dan masa lalu, masa kini, dan masa depan
mereka.Konsep diri dapat dibedakan
dari kesadaran diri, yang mengacu pada sejauh mana pengetahuan diri
didefinisikan, konsisten, dan saat ini berlaku untuk sikap dan disposisi
seseorang. Konsep diri juga berbeda dari harga diri: konsep diri
adalah komponen kognitif atau deskriptif dari diri sendiri (misalnya "Saya
pelari cepat"), sedangkan harga diri adalah evaluatif dan berpendirian
(misalnya, "Saya merasa senang menjadi
pelari cepat.
Prestasi akademik adalah proses
yang dinamis. Ini memainkan peran yang sangat signifikan dan vital dalam
pencapaian perkembangan anak yang harmonis dalam semua bidang kehidupan. Prestasi akademik secara
umum mengacu pada tingkat kemahiran yang dicapai di beberapa bidang tertentu, mengenai
beberapa pekerjaan skolastik dan akademik. Prestasi akademik atau
prestasi (akademik) adalah hasil dari pendidikan - sejauh mana seorang
mahasiswa, petani atau lembaga telah mencapai tujuan pendidikan mereka. Pencapaian akademik
biasanya diukur dengan pemeriksaan atau penilaian berkelanjutan tetapi tidak
ada kesepakatan umum tentang cara terbaik diuji atau aspek mana yang paling
penting - pengetahuan prosedural seperti keterampilan atau pengetahuan
deklaratif seperti fakta.Ketika siswa merasa aman, terlibat, dan dihormati,
mereka dapat fokus pada tujuan akademik mereka. Pendidik karakter yang
efektif memastikan bahwa kebutuhan ini terpenuhi. Pendidikan karakter adalah
fondasi di mana siswa dapat mencapai prestasi akademik. Bukan hanya mengajarkan anak-anak
menjadi baik. Itu mengajarkan mereka untuk menjadi yang terbaik. Menurut Crow dan Crow (1956) prestasi berarti sejauh
mana pelajar memperoleh keuntungan dari instruksi di bidang tertentu belajar. Prestasi akademik adalah
hasil dari pendidikan, sejauh mana seorang siswa, guru atau lembaga telah
mencapai tujuan pendidikan mereka. Ini diukur baik dengan
pemeriksaan atau penilaian berkelanjutan dan tujuan mungkin, berbeda dari
individu ke yang lain. Torres (1994) mendefinisikan prestasi
akademik sebagai kemampuan yang dicapai atau tingkat kompetensi dalam tugas
sekolah biasanya diukur dengan tes standar dan dinyatakan dalam kelas atau unit
berdasarkan cacing yang berasal dari sampel yang luas dari kinerja murid. Ker linger (1995) Menyatakan bahwa prestasi
akademik adalah fenomena yang kompleks. Ini adalah pengamatan
perilaku tertentu anak-anak yang berhubungan dengan Penguasaan belajar tugas
sekolah, tes membaca, membaca kata, melakukan masalah aritmatika, menggambar
gambar seterusnya (Lone, 2016: 19)
Menurut Drew dan Watkins
(1998), konsep diri adalah konstruksi psikologis yang mengacu pada sekelompok
gagasan dan sikap yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Mwamwenda (1995) menganggap
konsep diri sebagai cara seseorang mempersepsikan dirinya sendiri dan bisa
positif atau negatif. Dalam penelitian ini, konsep diri akademik dianggap sebagai
komponen utama konsep diri.Cokley (2000) mendefinisikan konsep diri akademik
sebagai "sikap, perasaan dan persepsi relatif terhadap keterampilan
intelektual atau akademik seseorang". Penulis yang sama menganggap
konsep diri akademik untuk menjadi bagaimana seorang siswa memandang kemampuan
akademisnya bila dibandingkan dengan siswa lain. Siswa melampirkan banyak hal
penting untuk kemampuan akademik, sehingga penerimaan diri sebagian besar
didasarkan pada kemampuan kognitif (Cokley 2000). Seorang siswa dengan konsep
diri akademik negatif, misalnya, mungkin hanya menghindari belajar dengan giat
karena dia akan menganggap isi pelajarannya terlalu sulit. McCoach dan Siegle (2003)
menunjukkan bahwa konsep diri akademik melibatkan deskripsi dan evaluasi
kemampuan akademis yang dirasakan seseorang dan mencakup keyakinan nilai diri
yang terkait dengan kompetensi akademik yang dirasakan seseorang. Para penulis ini menyatakan
lebih lanjut bahwa siswa membandingkan kinerja mereka sendiri dengan teman
sekelas mereka (perbandingan internal). Ini menyiratkan bahwa konsep
diri akademik siswa ditentukan oleh persepsi mereka tentang kemampuan akademis
mereka di suatu area serta penilaian mereka terhadap posisi akademis mereka
relatif terhadap teman sekelas mereka (McCoach dan Siegle 2003). Penulis yang sama menganggap konsep diri akademik sebagai
prediktor signifikan dari prestasi akademik.
Dalam
memandang proses belajar,Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
tingkah laku seseorang.dalam teorinya,”free discovery learning” ia mengatakan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,teori,aturan,atau
pemahaman melalui contoh-contoh yangiyah jumpai dalam kehidupannya. Menurut
bruner perkembangan kognitif seseorang dapat di angkat dengan cara menyusun
materi pelajarandan menyajikan sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut.
Model pemahaman dari konsep bruner (dalam
degeng 1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep
merupakan dua kegiatan mengkategorikan yang berbeda yang menurut proses
berfikir yang berbeda pula. Menurutnya ,pembelajaran yang selma ini diberikan
di sekolah banyak menekankan padan perkembangan kemampuanberfikir intuitif.
Padaha berfikir intuitif sangat penting
untuk mempelajari bidang sains,sebab
setiap disiplin memiliki konsep-konsep,perinsip,dan prosedur yang harus di
pahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah
memahami konsep,arti,dan hubungan,melalui proses intuitif dan akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan(discovery learning).beberapa perinsip teori bruner
adalah:
a. perkembangan
kognitif ditandai dengan ada nya kemajuan menanggapi rangsang
b. peningkatan
pengetahuan bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara
realistis
c. perkembangan
intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau
pada orang lain
d. interaksi
secara sistematis diperlukan antara pembimbing,guru dan anak untuk perkembangan
kognitif
e. bahasa
adalah kunci perkembangan kognitif
f. perkembangan
kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan,memilih tindakan yang cepat
g. perkembangan
kognitif dibagi dalam tiga tahap yaitu enactiv,iconic,symbolic.
h. Enactif
yaitu tahap jika seseorang melakukan aktifitas dalam upaya untuk memahami
lingkungan sekitarnya.(gigitan,sentuhan,pegangan)
i.
Iconik yaitu tahap
seseorang memahami objek-objek atau dunia melauli gambar-gambar dan visualisasi
verbal(anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan)
j.
Symbolic yaitu tahap
seseorang telah mampu memilikiide-ide atau gagasan abstrak yang sangat di
pengaruhi olehkemampuan dalam bahasa dan logika.(anak belajar melalui simbol
bahasa,logika,matematika)
k. Model
pemahaman dan penemuan konsep
l.
Cara yang baik untuk
belajar adalah memahami konsep,arti,dan memahami proses intuitif untuk akhirnya
sampai pada kesimpulan(discovery learning)
m. Siswa
diberi kebebasan untuk belajar sendiri melalui aktifitas menemukan(discovery)
(darmandi, 2017: 16-17)
2.2. Tahap – tahap
Model Pencapaian Konsep
Dalam memahami dan mengembangkan
ksuatu konsep diperlukan berpikir induktif karena berfikir induktif dalam
aplikasinya lebih doninan dan konsep pendekatan induktif sesuai dengankonsep metode ilmiah
(Sulistiani, 2010). Dalam model pencapaian konsep diketahui bahwa dalam proses
berpikir sang anak atau peserta didik memiliki tingkat-tingkat pencapaian
konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna yaitu tingkat
konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan tingkat formal. Menurut
teori Ausubel, individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu : melalui
formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau
informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia
masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil
termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan
individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif
dan merupakan suatu bentuk belajar menemukan
(discovery learning) melalui
proses diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep
pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan
terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun
memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya
selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan
meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain
adalah Bapak. Asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang
telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah.
Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut
sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan
dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan
hewan-hewan lain (Situmorang, 2013: 53-54)
Adapun tahap-tahap
penerapan model pembelajaran penemuan konsep adalah sebagai berikut, pertama,
melibatkan penyajian data pada pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan
negatif setiap data yang diberikan merupakan konsep dan memiliki gagasan umum:
tugas siswa adalah menggambarkan satu hipotesis tentang sifat dari konsep
tersebut. Para pembelajar diminta untuk membandingkan dan memverifikasi
sifat-sifat dari contoh-contoh yang positif dan negatif. Pada akhirnya siswa
diminta untuk memahami konsep-konsep mereka.
Kedua, siswa menguji
penemuan konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari
hipotesis siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan
sebagaimana mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa
mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa
mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
Dalam proses
pembelajaran guru harus bersikap simpatik kepda siswa, mengali perhatian siswa
pada analisis terhadap konsep-konsep siswa dan strategi-strategi berfikir
siswa. Yang perlu ditekankan dalam pembelajaran penemuan konsep adalah bukan
menemukan atau menbuat konsep-konsep baru tetapi mendapatkan konsp-konsep
sebelumnya yang telah dipilih oleh guru.
Model
pembelajaran pecapaian konsep sangat membantu guru untuk dapat mengetahui
tingkat pemahaman konsep pada siswa. According to Prabhakaram (2006: 15) In
phase two, to test student's attainment of the concept, the teacher presents unlabelled
examples. The students categories them as positive or negative. The teacher
probes for reasons and confirms their hypotheses. When the teacher knows that
the students have attained the concept, the teacher names the concept as the
students are not familiar with the name of the concept. Only when the students
have already attained the concept, the teacher may ask the students to name the
concept.
Terjemahan
:
Menurut
Prabhakaram (2006: 15) mengatakan Untuk menguji pencapaian konsep siswa, guru
menyajikan contoh-contoh tak berlabel. Para siswa mengelompokkan mereka sebagai
positif atau negatif. Guru memeriksa alas an dan menegaskan hipotesis mereka.
Ketika guru tahu bahwa siswa telah mencapai konsep, guru menamai konsep
tersebut karena siswa tidak akrab dengan nama konsep tersebut. Hanya ketika
siswa sudah mencapai konsep, guru dapat meminta siswa untuk menyebutkan
konsepnya.
2.3.
Penggunaan Model Pencapaian Konsep
Salah satu cara yang dapat mendorong siswa untuk belajar
secara bermakna adalah dengan penggunaan model pencapaian konsep (Joyce, 2009).
Model pencapaian konsep termasuk salah satu jenis model pembelajaran yang dapat
mengolah informasi yang bertitik berat pada cara-cara untuk memperkuat dorongan
internal siswa dalam memahami ilmu pengetahuan (Situmorang, 2013: 53)
Sebagai salah satu alternatifnya menggunakan model
pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model).
Menurut Joyce & Weil (2009: 139), model pembelajaran ini merupakan
perangkat evaluasi unggul saat guru ingin mengetahui sejauh mana siswa mampu
menguasai gagasan penting yang mereka ajarkan dan dapat memberikan laporan
tentang kedalaman pemahaman siswa
sekaligus memperkuat pengetahuan mereka sebelumnya. Model pencapaian konsep (Concept
Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk
mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk
mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif. Hal yang paling
utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang
tepat untuk konsep yang diajarkan. Selain itu adanya
pemilihan non contoh pada model pembelajaran ini membuat siswa
membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh.
Keberhasilan proses pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dalam proses
pembelajaran diantaranya penggunaan model pembelajaran, metode pembelajaran,
media pembelajaran, dan teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru.
Pemilihan model pembelajaran dan penggunaan media dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Tujuan menggunakan Concept Attainment Model adalah
untuk memahami suatu konsep dengan cara memperkenalkan kepada siswa
proses-proses yang berhubungan dengan pembentukan konsep. Hal ini mencakup
pengertian tentang kaitan diantara contoh-contoh dan karakteristik konsep serta
strategi berpikir siswa yang digunakan untuk memahami konsep. Penggunaan media
pembelajaran terutama media riil dapat diterapkan kepada siswa dikarenakan
siswa dapat mengamati secara langsung obyeknya sehingga dapat
menumbuhkan minat belajar yang tinggi, selain itu media gambar dapat
memperjelas hubungan antara isi materi pembelajaran dengan dunia nyata. Media
gambar dapat menyuguhkan elaborasi yang menarik tentang struktur atau organisasi
suatu hal, sehingga juga memperkuat ingatan
Strategi
pencapaian konsep, digunakan untuk menfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan
eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik
bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam daerah asal tersebut ( Yunita, 2015 : 38).
Manakala
materi pelajaran bersifat kompleks dan “belum jadi”sehingga memerlukan proses
berpikir untuk ditemukan sendiri oleh siswa ditambah lagi pengalaman belajar
sebagai tujuan pembelajaran bukan hanya sekedar siswa dapat menyimak penjelasan
guru, akan tetapi dapat berpikir kritis menggunakan potensi otak mengeluarkan
gagasan dan ide-ide baru, maka pengalaman belajar dirancang dengan strategi
yang lain misalnya dengan strategi mencari dan menemukan (SPI) melalui
penggunaan metode diskusi, pencapaian konsep, dan buzz group. Penggunaan berbagai metode tersebut dijelaskan pada
bagian tersendiri ( Budimanjaya, 2017 : 154).
Model
concept teaching merupakan model yang dikembangkan untuk mengajarkan
konsep-konsep kunci agar siswa dapat berpikir dengan tingkat lebih tinggi dan
menjadi dasar bagi pemahaman-bersama dan komunikasi. Ada beberapa pendekatan
dalam model concept teaching, tetapi ada dua pendekatan dasar yakni direct
presentation dan concept attainment. Sintaksis model
concept teaching pendekatan concept attainment yakni:
1. mengklarifikasikan maksud dan establising set
2. memberi masukan contoh dan bukan
contoh yaitu memberi ilustrasi, mengidentifikasi atribut kritis dan non kritis,
mendefinisikan konsep dan diakhiri memberi nama konsep dari contoh dan bukan
contoh yang diberikan
3. menguji pencapaian
4. menganalisis proses berpikir dan
integrasi pembelajaran siswa
Dalam melaksanakan pengajaran konsep
perlu analisis konsep sebagai prosedur yang dapat menolong guru dalam
merencanakan pengajaran konsep bagi pencapaian konsep yakni:
1. nama konsep
2. atribut-atribut kriteria dan
atribut-atribut variabel dari konsep
3. definisi konsep, contoh-contoh dan
noncontoh-noncontoh dari konsep
4. hubungan konsep dengan konsep-konsep
lain. Hal ini menunjukkan seorang guru perlu memahami konsep dengan baik,
termasuk dalam memahami konsep fisika.
Aktivitas belajar siswa yang nampak
melalui pendekatan concept attainment dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. memperhatikan penjelasan guru
tentang contoh dan bukan contoh
2. mengidentifikasi contoh dan bukan
contoh
3. menyatakan atribut kritis dan non
kritis konsep
4. membedakan ciri-ciri/atribut kritis
dan non kritis dari konsep
5. memberikan definisi konsep sesuai
atribut kritis dan non kritis
6. memberi nama (labeling) konsep
7. membenarkan jawaban terhadap contoh
baru dari guru sesuai atribut kritis konsep;
8. menyebutkan contoh dan bukan contoh
baru sesuai atribut kritis konsep yang diketahui siswa
9. mempresentasikan hasil kerja.
Terdapat lima sifat dari konsep
yakni:
1. ditempatkan dalam kategori-kategori
2. dipelajari melalui contoh dan bukan
contoh
3. memiliki definisi dan label
4. memiliki atribut-atribut kritis
5. memiliki atribut-atribut non kritis.
Konsep-konsep tersebut dipelajari oleh siswa agar memiliki pemahaman konsep .
Pemahaman merupakan kemampuan menangkap makna dari suatu konsep yang memerlukan
hubungan antar konsep dengan makna yang ada dalam konsep tersebut.
Kaitannya dengan pemahaman konsep,
dalam revisi taksonomi Bloom dinyatakan bahwa
“kemampuan memahami” terdiri dari:
1. menafsirkan
2. mencontohkan
3. mengklasifikasikan
4. merangkum
5. menyimpulkan
6. membandingkan
7. menjelaskan.
Dengan demikian, pemahaman konsep
merupakan kemampuan untuk mengerti atau menangkap makna dan arti konsep yang
dipelajari, dapat menyatakan ulang, mengklasifikasikan, menyajikan,
mengembangkan, memanfaatkan dan mengaplikasikan materi yang dipelajari
(Sahara,2015: 109)
Pilihan
strategi yang digunakan dalam mengembangkan pelajaran berbasi multietnik,antara
lain:setrategi kegiatan belajar bersama-sama (cooperativ learning), yang
digunakan dengan setrategi pencapaian konsep (concept attainment) dan strategi
analis nilai(value analysis), strategi analisis sosial (social investigation).
Beberapa pilihan strategi ini dilaksanalan secara simultan,dan tergambar dalam
langkah-langkah model pembelajaran berbasis multietnik. Namun
demikian,masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan
yang berbeda. Strategi pencapaian konsep,digunakan untuk memfasilitasi siswa
dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan kosep budaya
apa yangdianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing,dan
selanjutnya menggali nilai-nilai yangterkandung dalam budaya daerah asal
terebut. Strategi cooperative learning,digunakan umtuk menandai adanya
perkembangan kemampuansiswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasakan konsep
dan nilai budaya lokal dari daerah dalam komonitas belajar bersama teman. Dalam
tataran belajar dengan pendekatan multietnik,penggunaan strategi cooperative
learning,diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan
rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini,siswa memiliki keterampilan
mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain,toleransi terhadap
perbedaan,akomondatif,terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman(orang
lain)yang berbeda suku,agama,etnis,dan budanya,memeiliki empati yang tinggi
terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa
kekerasan (conflict non violent). Selain itu,penggunaan strategi coopertife
learning dalam belajar dapat meningkatkan kualitas dan efektifitas proses
belajar siswa,susunan belajar yang kondusif ,membangun interaksi aktif antara
siswa dengan guru,siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi
analisis lain,difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berfikir secara
indukatif,dan setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya (cara pandang
lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih
luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan) (yunita, 2017. 63-64)
One of the components of self-concept is academic
self-concept. According to Trautwein, Lüdtke, Köller, and Baumert (2006)
academic self-concept is referred to as a person’s self-evaluation regarding
specific academic domains or abilities. Studies in academic self-concept mostly
focused on children in school subject such as language, mathematics and other
basic subject.
The self-concept is an important term for both social and
humanistic psychology. Lewis (1990) suggests that the development of a concept
of self-has two aspects:
·
The Existential Self
This is 'the most basic part of the self-scheme or
self-concept; the sense of being separate and distinct from others and the
awareness of the constancy of the self' (Bee, 1992). The child realizes that
they exist as a separate entity from others and that they continue to exist
over time and space.
According to Lewis awareness of the existential self-begins
as young as two to three months old and arises in part due to the relation the
child has with the world. For example, the child smiles and someone smiles
back, or the child touches a mobile and sees it move.
·
The Categorical Self
Having realized that he or she exists as a separate
experiencing being, the child next becomes aware that he or she is also an
object in the world.
Just as other objects including people have properties that
can be experienced (big, small, red, smooth and so on) so the child is becoming
aware of him or herself as an object which can be experienced and which has
properties The self too can be put into categories such as age, gender, size or
skill.
In early childhood, the categories children apply to
themselves are very concrete. Later, self-description also begins to include
reference to internal psychological traits, comparative evaluations and to how
others see them.
Carl Rogers (1959) believes that the self-concept has three
different components:
• The view we have of yourself (self-image)
• How much value we place on yourself (self-esteem or
self-worth)
• What we wish you were really like (ideal-self)
People with good self -concept tend to be more accepting of others.
High self-esteem is related to independence and an open mind. The dissonance
between a person’s self-concept and actual experiences is a chronic source of
anxiety and can even result in mental disorder
(Narasimhan, 2018: 152-153)
In an investigation of academic
achievement in African-American college students (Cokley 2000), there was a
strong positive correlation between academic self-concept and grade point
average (GPA) scores. It was also found that students with higher GPAs had
statistically
higher academic self-concept scores
than students with lower GPAs. In a study by Kobal and Musek (2001), French
students turned out to be more successful in school than Slovenians and it is
further stated that the findings support the possibility that the higher
academic achievement of French students is mostly related to their higher
academic self-concept. Chowdhury and Pati, in Awan et al. (2011) assert that
“self-concept plays a significant role in the educational process when a child
is accepted, approved, respected and liked, and one will have an opportunity to
acquire an attitude of self-acceptance and respect for oneself”. According to
Wang and Lin, in Awan et al. (2011), self-concept was seen as the general
confidence that individuals felt about themselves and the levels of an
individual’s self-concept predict the extent to which he or she was able to
accomplish academic tasks successfully or unsuccessfully. They further argue
that much of the earlier interest in the self-concept versus achievement relationship
stem-med from the belief that academic self-concept had motivational functions
and thus, changes in academic self-concept would lead to changes in subsequent
academic achievement.
According to Chowdhury and Pati, in Awan et al. (2011),
academic achievement is defined by examination marks, teachers’ given grades
and percentiles in academic subjects. Rickson (1977) views achievement within
any context as performance relative to some standard and he further states that
academic achievement and other dimensions of learning can be measured by a
variety of yardsticks or measuring instruments, the results of which are types
of scores, ranks or grades. Van den Aardweg and Van den Aardweg (1988) regard
achievement as a product which can be measured by means of achievement tests
and is usually associated with mental success. For this study, the respondents’
examination results were used as measures of academic achievement (Ofori, 2017: 64-65)
Terjemahan :
Salah satu komponen konsep diri adalah konsep diri akademik. Menurut
Trautwein, Lüdtke, Köller, dan Baumert (2006) konsep diri akademik disebut
sebagai evaluasi diri seseorang mengenai domain atau kemampuan akademik
tertentu. Pembelajaran dalam konsep diri akademik sebagian besar terfokus
pada anak-anak di sekolah subjek seperti bahasa, matematika dan pokok bahasan
lainnya.
Konsep diri adalah istilah penting untuk psikologi sosial dan
humanistik. Lewis (1990) mengemukakan bahwa pengembangan konsep diri
memiliki dua aspek:
·
Diri Eksistensial
Ini adalah 'bagian paling mendasar dari skema diri atau konsep
diri; rasa terpisah dan berbeda dari orang lain dan kesadaran akan
keajegan diri '(Bee, 1992). Anak menyadari bahwa mereka ada sebagai
entitas terpisah dari orang lain dan bahwa mereka terus ada seiring waktu dan
ruang.
Menurut kesadaran Lewis tentang eksistensial diri dimulai semuda dua hingga
tiga bulan dan muncul sebagian karena hubungan yang dimiliki anak dengan
dunia. Misalnya, anak itu tersenyum dan seseorang tersenyum kembali, atau
anak itu menyentuh ponsel dan melihatnya bergerak.
·
The Categorical Self
Setelah menyadari bahwa ia ada sebagai makhluk yang terpisah, anak
berikutnya menjadi sadar bahwa ia juga merupakan objek di dunia.
Sama seperti benda-benda lain termasuk orang yang memiliki sifat-sifat yang
dapat dialami (besar, kecil, merah, halus dan sebagainya) sehingga si anak
menjadi sadar akan dirinya sebagai objek yang dapat dialami dan yang memiliki
sifat-sifat Diri juga dapat dimasukkan ke dalam kategori seperti usia, jenis
kelamin, ukuran atau keterampilan.
Pada anak usia dini, kategori anak-anak berlaku untuk diri mereka sendiri
sangat konkrit. Kemudian, deskripsi diri juga mulai memasukkan referensi
ke sifat psikologis internal, evaluasi komparatif dan bagaimana orang lain
melihatnya.
Carl Rogers (1959) percaya bahwa konsep-diri memiliki tiga komponen yang
berbeda:
• Pandangan kita
tentang diri sendiri (citra diri)
• Berapa banyak
nilai yang kita tempatkan pada diri sendiri (harga diri atau harga diri)
• Apa yang kami
harap Anda benar-benar sukai (diri ideal)
Orang dengan konsep diri yang baik cenderung lebih menerima orang
lain. Harga diri yang tinggi terkait dengan kemerdekaan dan pikiran
terbuka. Disonansi antara konsep diri seseorang dan pengalaman aktual
adalah sumber kecemasan kronis dan bahkan dapat menyebabkan gangguan
mental (Narasimhan, 2018: 152-153)
Dalam penyelidikan prestasi akademik pada
mahasiswa Afrika-Amerika (Cokley 2000), ada korelasi positif yang kuat antara
konsep diri akademik dan nilai rata-rata (IPK). Itu juga menemukan bahwa
siswa dengan IPK tinggi secara statistik skor konsep diri akademik yang
lebih tinggi daripada siswa dengan IPK rendah. Dalam sebuah studi oleh
Kobal dan Musek (2001), siswa-siswa Perancis ternyata lebih berhasil di sekolah
daripada orang Slovenia dan lebih lanjut menyatakan bahwa temuan mendukung
kemungkinan bahwa pencapaian akademik yang lebih tinggi dari siswa Perancis
sebagian besar terkait dengan diri akademik mereka yang lebih tinggi.
-konsep. Chowdhury dan Pati, di Awan et al. (2011) menegaskan bahwa
"konsep diri memainkan peran penting dalam proses pendidikan ketika
seorang anak diterima, disetujui, dihormati dan disukai, dan seseorang akan
memiliki kesempatan untuk memperoleh sikap penerimaan diri dan menghormati diri
sendiri". Menurut Wang dan Lin, di Awan et al. (2011), konsep
diri dilihat sebagai keyakinan umum yang dirasakan individu tentang diri mereka
sendiri dan tingkat konsep diri individu meramalkan sejauh mana ia mampu
menyelesaikan tugas akademik dengansukses atau tidak berhasil. Mereka
lebih jauh menyatakan bahwa sebagian besar minat sebelumnya pada konsep diri
versus hubungan prestasi berasal dari keyakinan bahwa konsep diri akademik
memiliki fungsi motivasi dan dengan demikian, perubahan dalam konsep diri akademik
akan menyebabkan perubahan dalam pencapaian akademik berikutnya.
Menurut Chowdhury dan Pati, di Awan et al. (2011), prestasi akademik
didefinisikan oleh tanda ujian, nilai yang diberikan guru dan persentil dalam
mata pelajaran akademik. Rickson (1977) memandang pencapaian dalam konteks
apa pun sebagai kinerja relatif terhadap beberapa standar dan ia lebih lanjut
menyatakan bahwa prestasi akademik dan dimensi lain dari pembelajaran dapat
diukur dengan berbagai tolok ukur atau alat ukur, yang hasilnya adalah jenis
skor, peringkat atau nilai. Van den Aardweg dan Van den Aardweg (1988)
menganggap pencapaian sebagai produk yang dapat diukur dengan tes prestasi dan
biasanya dikaitkan dengan kesuksesan mental. Untuk penelitian ini, hasil
pemeriksaan responden digunakan sebagai ukuran prestasi akademik (Ofori, 2017:
64-65)
In the
shavelson at al. Model, academic
self-concept in on component of overall self-consept, and reading. Support for
the construct validity of sdq interpretations and the shavelaon et al. Model requires that academic achievement be
correlated more poaitively with academic self-concept and that verbal and math
achievement be correlated meor positively with academic self-concept that with
nonacademic or overal self-concept and that verbal and math achiement
indicators be correlate more highly with self-concept. In the most extensive
meta-analysis of the achievement/self-concept relationship. Byrne (1984) also
found that nearly all studies report thet self-concept is correlated more
strongly with academic self-concept than with general self-concept. This search
supporta the saparation of academic self-concept from general and nonacademic
componenta of self-concept and that a relation is present between academic
self-concept and academic achievement. The purpose of this section is to review
briefly research that explores this relationship (Phye, 1997: 148)
Tejemahan
:
Dalam shavelson di al. Model, konsep-diri akademik pada komponen
konsistensi diri secara keseluruhan, dan membaca. Dukungan untuk validitas
konstruk dari interpretasi sdq dan shavelaon et al. Model mensyaratkan bahwa
prestasi akademik dikorelasikan lebih sesuai dengan konsep diri akademik dan
bahwa prestasi verbal dan matematika berkorelasi positif dengan konsep diri
akademik yang dengan konsep diri non-akademik atau berlebihan dan bahwa
indikator prestasi verbal dan matematika berkorelasi lebih tinggi dengan diri
sendiri. -konsep. Dalam meta-analisis yang paling luas dari pencapaian / konsep
diri hubungan. Byrne (1984) juga menemukan bahwa hampir semua studi melaporkan
konsep diri berkorelasi lebih kuat dengan konsep-diri akademik daripada dengan
konsep-diri umum. Pencarian ini mendukung saparasi konsep diri akademik dari
komponen umum dan nonakademik konsep diri dan bahwa ada hubungan antara konsep
diri akademik dan prestasi akademik. Tujuan dari bagian ini adalah untuk
meninjau secara singkat penelitian yang mengeksplorasi hubungan ini.
Model
pembelajaran pencapaian konsep juga dapat membantu siswa untuk dapat
mingkatakan prestasi belajarnya disekolah. According to Basapur (2018: 246) The retention is another dependent variable
is the root cause of intelligence, proper understanding and meaningful fixing
of concept for long time. The attitude is most environment influencible factor
determines the strength of one's love towards concept learning. The concept
attainment model is effective in improving achevement, retention and attitude
towards science among different ability students.
Terjemahan
:
Menurut Baspur (2018: 246)
mengatakan Retensi adalah variabel dependen lainnya adalah akar penyebab
kecerdasan, pemahaman yang tepat dan pemantapan konsep yang bermakna untuk
waktu yang lama. Sikap adalah faktor yang paling mempengaruhi lingkungan
menentukan kekuatan cinta seseorang terhadap pembelajaran konsep. Model
pencapaian konsep efektif dalam meningkatkan pencapaian, retensi dan sikap
terhadap sains di antara siswa kemampuan yang berbeda.
Model
pembelajaran pencapain konsep, didasarkan pada pernyataan bahwa lingkungan
penuh dengan makhluk luar biasa yang tidak memiliki kapsitas untuk
mendiskriminasikan. Proses mengklasifikasikan hal-hal ini dalam kelompok,
menguntungkan manusia dalam tiga cara. According to Singh (2008: 189) Jerome
S. Bruner, Jacqueline Goorow and George Austine developed the concept
attainment model of teaching in 1956. The model emerged out of the study of
thinking process in human beings: it is based on the assertion that environment
is full of tremendously beings had not been endowed with the capacity to
discriminate and to categories things in groups. This process of classifying
things in group, benefits human beings in three ways. First, it reduces the
complexity of the environment, second it gives the means by which we identify
the objects in the world and third it reduces the necessity of constant
learning.
Terjemahan
:
Menurut Singh (2008: 189) Jerome S.
Bruner, Jacqueline Goorow dan George Austine mengembangkan model pencapaian
konsep pengajaran pada tahun 1956. Model ini muncul dari studi tentang proses
berpikir dalam manusia: hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa lingkungan
penuh dengan makhluk luar biasa yang tidak memiliki kapasitas untuk
mendiskriminasikan dan mengkategorikan hal-hal dalam kelompok. Proses
mengklasifikasi hal-hal ini dalam kelompok, menguntungkan manusia dalam tiga
cara. Pertama, ia mengurangi kompleksitas lingkungan, kedua itu memberi sarana
dengan mana kita mengidentifikasi objek di dunia dan ketiga itu mengurangi
kebutuhan pembelajaran yang konstan.
Model
pembelajaran berbasis pencapaian konsep, lebih menekankan pada perkembangan
kognitif. According to Siddiqui (2008: 112) As
far as the concept attainment model is concerned, the emphasis is given more to
cognitive development, and from the theories of learning it is clear that the
cognitive development facilitates more learning. The most important aim of this
model is to acquaint the students with the pre-existing concepts. The
researcher was able to do the task. The researcher presented the materials
before the students through the model was so organized that students were able
to acquire the concept easily. Concept attainment model also shapes the
behaviour of students in an organized way through presenting the subject
material in systematic way. Bruner and his associates (1977) have emphasised
that thinking ability of learner supports the concept building strategies.
Terejmahan
:
Menurut Siddiqui (2008: 112) Sejauh
menyangkut model pencapaian konsep, penekanan diberikan lebih pada perkembangan
kognitif, dan dari teori-teori pembelajaran jelas bahwa perkembangan kognitif
memfasilitasi lebih banyak pembelajaran. Tujuan yang paling penting dari model
ini adalah untuk memperkenalkan siswa dengan konsep yang sudah ada sebelumnya.
Peneliti mampu melakukan tugas itu. Peneliti mempresentasikan materi sebelum
siswa melalui model sangat terorganisir sehingga siswa dapat memperoleh konsep
dengan mudah. Model pencapaian konsep juga membentuk perilaku siswa dengan cara
yang terorganisir melalui penyajian materi subjek secara sistematis. Bruner dan
rekan-rekannya (1977) telah menekankan bahwa kemampuan berpikir peserta didik
mendukung strategi membangun konsep.
2.4.
Dampak Pencapaian Konsep
Review of the literature regarding the impact of
non-academic self-concept on academic achievement shows inconsistency in
findings. According to Suntonrapot et al. (2009), non-academic self-concept can
produce causes not only in the classroom but also outside the classroom.
Non-academic self-concept can provide much more information than academic
self-concept for improving students’ skills, characters, social, behavior and
academic achievement. The importance of non-academic self-concept is further
highlighted by William (1993) as he felt that many researchers have neglected
the roles of non-academic self-concept in academic achievement whereas
non-academic self-concept is closely related to students’ life. The findings of
Hasenzadeh, Hussini, and Moradi (2004) and Suntonrapot et al. (2009)
demonstrated that there is a relationship between non-academic self-concept and
academic achievement. The findings by Chong (2007) reported a positive
correlation between non-academic self-concept and academic achievement but the
relationship is weak for children in remedial classes as compared to students
in normal classes. Hence, the findings show evidence of a positive relationship
between non-academic self-concept and academic achievement. However, this is
not agreeable by Sànchez and Roda (2003) as their study indicated that
non-academic self-concept is a negative predictor of academic achievement. On
the other hand, the report of Marzuki (2002) based on the Malaysian samples
review found no relationship between non-academic self-concept and academic
self-concept with academic achievement (Ishak,2014 : 184-185)
H.-j. Liu (2009) study on college student suggest that there
is need for teachers to be concerned about students’ academic self-concept as
they may be important determinants of their relative performance in different
academic domains.
The most recent study by Matovu (2012) from International
Islamic University Malaysia (IIUM) focused on academic self-concept and
academic achievement among university students. The researcher used the
Academic Self-concept Scale (ASC) by Liu & Wang (2005). According to Matovu
(2012) theories and models that explain academic self-concept and academic
achievement have shown no proof of whether prior academic self-concept influences academic achievement or prior academic
achievement causes subsequent academic self-concept. Gender has been stressed
to influence academic self-concept and academic achievement in various study
done on gender, self-worth, and academic achievement among students according
to Matovu (2012). Plus there are statistically differences were shown in
faculties on academic achievement.
Kaba and Talek (2015) studies focused on the academic
self-concept subscale, the academic confidence and academic effort using the W.
Liu and Wang (2005) academic self-concept scale. Their research discovered
applicable implications in the teaching and learning process among university
students. The first one is that the instructor or lecturer should consider
gender and the student’s faculty in providing teaching instructions but not the
level of their study (e.g degree level or master level). Secondly, there are
age differences in academic effort and academic achievement, and instructors
should be aware that academic efforts are contributor to their academic
achievement. Finally Kaba and Talek (2015) suggested it is crucial to develop
the students confidence in their competence and be interested and motivated in
learning so that they can put more effort in their coursework and continue to make
progress.
Academic achievement can be measure through grades (Guay et
al., 2010; Garzarelli and Lester, 2001), specific subject test such as the Key
Stage 3 in England (Ireson & Hallam, 2009) and Cumulative Grade Point
Average (Cokley, 2000; Matuvo, 2012; Kaba and Talek, 2015). However according
to Peixoto and Almeida (2010), prevoius research into academic achievement
shows no differences despite using differences academic evaluation.
Guay et al. (2010) research focused on two motivational
factors regularly associated with academic achievement, which is autonomous and
academic self-concept. Herbert W. Marsh, Trautwein, Lüdtke, Köller, and Baumert
(2005) have also suggested that improving student academic achievement without
enhancing self-concept in related academic domains is most likely to lead to
only short term gain.
Previous study on academic
achievement usually be combined with another variable such as motivation for
example in Emmanuel, Adom, Josephine, and Solomon (2014). This research
investigates the importance of achievement motivation and academic self-concept
to academic achievement. The finding in academic achievement shows that male
students have higher academic achievement than the female students, which is
somehow vary from the usual believe that female students have better academic
achievement. The main factor that may influence this is the level of motivation
among the male students is
higher than the female. A study by
Sikhwari (2014) found that the female students have higher motivation, thus,
the female have higher academic achievement (Mazlan, 2017:71-73)
Terjemahan
:
Tinjauan literatur tentang
dampak konsep diri non-akademik pada prestasi akademik menunjukkan
inkonsistensi dalam temuan. Menurut Suntonrapot dkk. (2009), konsep diri non-akademik
dapat menghasilkan penyebab tidak hanya di ruang kelas tetapi juga di luar
kelas. Konsep diri non-akademik dapat memberikan lebih banyak
informasi daripada konsep diri akademik untuk meningkatkan keterampilan siswa,
karakter, sosial, perilaku dan prestasi akademik. Pentingnya konsep diri
non-akademik lebih disorot oleh William (1993) karena ia merasa bahwa banyak
peneliti telah mengabaikan peran konsep diri non-akademik dalam prestasi
akademik sedangkan konsep diri non-akademik terkait erat dengan siswa.
kehidupan. Temuan Hasenzadeh, Hussini, dan Moradi (2004) dan
Suntonrapot dkk. (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep diri
non-akademik dan prestasi akademik. Temuan oleh Chong (2007)
melaporkan korelasi positif antara konsep diri non-akademik dan prestasi
akademik tetapi hubungan lemah untuk anak-anak di kelas remedial dibandingkan
dengan siswa di kelas normal. Oleh karena itu, temuan menunjukkan bukti hubungan
positif antara konsep diri non-akademik dan prestasi akademik. Namun, ini tidak disetujui
oleh Sànchez dan Roda (2003) karena penelitian mereka menunjukkan bahwa konsep
diri non-akademik adalah prediktor negatif dari prestasi akademik. Di sisi lain, laporan Marzuki (2002) berdasarkan
tinjauan sampel Malaysia tidak
menemukan hubungan antara konsep diri non-akademik dan konsep diri akademik
dengan prestasi akademik ( Ishak,
2014: 184-185)
H.-j. Liu
(2009) studi pada mahasiswa menunjukkan bahwa ada kebutuhan bagi guru untuk
khawatir tentang konsep diri akademik siswa karena mereka mungkin penentu
penting dari kinerja relatif mereka dalam domain akademik yang berbeda.
Menurut Matovu (2012) teori dan model yang menjelaskan
konsep diri akademik dan prestasi akademik tidak menunjukkan bukti apakah
konsep diri akademik sebelumnya mempengaruhi
prestasi akademik atau prestasi akademik sebelumnya menyebabkan konsep diri
akademik berikutnya. Jenis kelamin telah ditekan untuk mempengaruhi konsep diri
akademik dan prestasi akademik dalam berbagai studi yang dilakukan pada gender,
harga diri, dan prestasi akademik di kalangan siswa menurut Matovu (2012). Plus
ada perbedaan statistik yang ditunjukkan di fakultas pada pencapaian akademik.
Kaba dan Talek (2015) studi difokuskan pada subskala konsep
diri akademik, kepercayaan akademik dan upaya akademis menggunakan W. Liu dan
Wang (2005) skala konsep diri akademik. Penelitian mereka menemukan implikasi
yang berlaku dalam proses belajar mengajar di kalangan mahasiswa. Yang pertama
adalah bahwa instruktur atau dosen harus mempertimbangkan jender dan fakultas
siswa dalam memberikan instruksi pengajaran tetapi bukan tingkat studi mereka
(misalnya tingkat gelar atau tingkat master). Kedua, ada perbedaan usia dalam
upaya akademis dan prestasi akademik, dan instruktur harus menyadari bahwa
upaya akademis adalah kontribusinya terhadap prestasi akademik mereka.Akhirnya
Kaba dan Talek (2015) menyarankan bahwa sangat penting untuk mengembangkan
kepercayaan diri siswa dalam kompetensi mereka dan tertarik serta termotivasi
dalam belajar sehingga mereka dapat lebih berupaya dalam pelajaran mereka dan
terus membuat kemajuan.
Prestasi akademik dapat diukur melalui nilai (Guay et al.,
2010; Garzarelli dan Lester, 2001), tes subjek khusus seperti Key Stage 3 di
Inggris (Ireson & Hallam, 2009) dan Cumulative Grade Point Average (Cokley,
2000; Matuvo, 2012; Kaba dan Talek, 2015). Namun
menurut Peixoto dan Almeida (2010), penelitian prevoius ke prestasi akademik
tidak menunjukkan perbedaan meski menggunakan perbedaan evaluasi akademik.
Guay dkk. (2010)
penelitian difokuskan pada dua faktor motivasi secara teratur terkait dengan
prestasi akademik, yang otonom dan konsep diri akademik. Herbert W. Marsh, Trautwein, Lüdtke,
Köller, dan Baumert (2005) juga menyarankan bahwa meningkatkan prestasi
akademik siswa tanpa meningkatkan konsep diri dalam domain akademik yang
terkait kemungkinan besar hanya mengarah pada keuntungan jangka pendek.
Studi sebelumnya pada prestasi akademik biasanya
digabungkan dengan variabel lain seperti motivasi misalnya di Emmanuel, Adom,
Josephine, dan Solomon (2014). Penelitian ini mengkaji pentingnya motivasi
berprestasi dan konsep diri akademik terhadap prestasi akademik. Temuan dalam
prestasi akademik menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki prestasi akademik
yang lebih tinggi daripada siswa perempuan, yang entah bagaimana bervariasi
dari kepercayaan biasa bahwa siswa perempuan memiliki prestasi akademik yang
lebih baik. Faktor utama yang dapat mempengaruhi ini adalah tingkat motivasi di
antara siswa laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan. Sebuah studi oleh Sikhwari (2014) menemukan bahwa
siswa perempuan memiliki motivasi yang lebih tinggi, dengan demikian, perempuan
memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi (Mazlan, 2017: 71-73)
Dengan
adanya model pembelajaran bebasis pencapain konsep, para guru dapat mempelajari
bagaimana keberagaman karakteristik pemahaman dari peserta didiknya. According
to Basapur (2018: 247) To study the
effect of concept attainment model on achievement in science among 9th standard students. To study the
effect of concept attainment model on attitude towards science among 9th
standard students. To study the effect of concept attainment model on retention
of science concept among 9th standard students. To compare the effect of
concept attainment model on acievement in science among boy and girl students
of 9th standard.
Terjemahan
:
Menurut Basapur (2018: 247) Untuk
mempelajari pengaruh model pencapaian konsep terhadap prestasi dalam sains di
antara 9 siswa standar. Untuk mempelajari pengaruh model pencapaian konsep pada
sikap terhadap sains di antara 9 siswa standar. Untuk mempelajari pengaruh
model pencapaian konsep pada retensi konsep sains di antara 9 siswa standar.
Untuk membandingkan pengaruh model pencapaian konsep pada prestasi dalam sains
di antara siswa laki-laki dan perempuan dari standar 9.
2.5. Unsur Unsur Model
Pencapaian Konsep
Bruce, dkk
(1992) mengemukakan bahwa model
concept attainment memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
Tahap-tahap
pelaksanaan
Tahap-tahap pelaksanaan concept attainment adalah tahap-tahap
kegiatan dar concept attainment yang memiliki tiga fase sebagai berikut:
1. Fase
pertama: Penyajian data
dan identifikasi konsep
a) Guru menyajikan contoh yang telah diberi nama
konsep
b)
Siswa membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh
c.) Siswa membuat hipotetis dan menguji
hipotesis
d.) siswa membuat definisi tentang konsep dari
ciri ciri esensial
2. Fase Kedua: menguji pencapaian konsep
a) siswa mengidentifikasi contoh yang tidak
diberi nama konsep dan menyatakan kembali definisi konsep dengan mengatakan
"ya" atau "bukan"
b) Guru menegaskan hipotetis, nama konsep dan
menyatakan definisi konsep sesuai dengan ciri ciri esensial
c) siswa membuat (memberikan) contoh
3. Fase Ketiga : Analisis strategi berfikir
a) siswa mengungkapkan pikirannya
b) siswa mendiskusikan hipotesis dan ciri ciri
konsep
c) siswa mendiskusikan tipe dan macam
hipotetis
b. Sistem Sosial
Sistem sosial
concept attainment adalah situasi atau suasana dan norma yang berlaku
dalam model pencapaian konsep. Model ini memiliki struktur yang moderat. Guru
melakukan pengendalian terhadap aktivitas siswa tetapi tetap pembelajaran
dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas. Dengan pengorganisasian seperti
itu, siswa diharapkan lebih memperhatikan inisiatifnya untuk melakukan proses
induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri selama
proses pembelajaran.
C. Prinsip Prinsip pengelolaan/reaksi
Prinsip Prinsip pengelolaan/reaksi dari model
concept attainment adalah :
1) memberikan dukungan dengan menitikberatkan
pada sifat hipotetis dari diskusi diskusi yang sedang berlangsung.
2) memberikan bantuan kepada siswa dalam
mengembangkan hipotetis
3) memusatkan perhatian siswa terhadap contoh
contoh spesifik
4) memberikan bantuan kepada siswa dalam mendiskusikan dan
menilai strategi berpikir yang mereka pakai.
d. Sistem Pendukung
Sistem pendukung model concept attainment adalah segala sarana,
bahan, dan bahan yang diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran concept attainment. Sarana pendukung
yang diberikan bisa berupa gambar, foto, diagram, slide, tape recorder, lembar
kerja siswa, dan yang lainnya (Sumartini,
2015: 52-53)
Kajian Kriitis
Konsep
didefinisikan secara ostensif, artinya dapat diidentifikasi dengan menunjuk
entitas tertentu memiliki keberadaan yang nyata (yaitu benda fisik). Namun,
ditetapkan konsep adalah kategorisasi abstrak, sering didefinisikan dalam
hubungannya dengan konsep lain (yaitu
demokrasi, kebebasan, teman). Konsep yang ditetapkan mungkin lebih menantang belajar karena sifat
abstrak dan kurang nyata. Konsep disusun
secara efisien ke dalam struktur hirarkis yang menandakan hubungan
dengan konsep lainnya. Struktur ini membentuk taksonomi yang menggambarkan
bagaimana mengkoordinasikan, mengaudit, mengkoordinasikan, dan mengasosiasikan
konsep bawahan satu sama lain.
Model
concept attainment lebih memfokuskan pada pengembangan berpikir kritis siswa
dalam bentuk menguji hipotesis. Dalam pembelajaran harus ditekankan pada
analisis siswa terhadap hipotesis yang ada dan mengapa hipotesis itu diterima,
dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus dilatih dalam menciptakan jenis-jenis
kesimpulan, seperti membuat contoh penyangkal atau non-contoh, dan sebagainya.
Penerapan model pembelajaran ini sangat menekankan pada dua aspek tersebut,
yaitu pengembangan konsep dan korelasi antara konsep yang terkait erat, serta
latihan berpikir kritis terutama dalam merumuskan dan menguji hipotesis.
Dalam model pencapaian konsep
diketahui bahwa dalam proses berpikir sang anak atau peserta didik memiliki
tingkat-tingkat pencapaian konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang
sempurna yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan
tingkat formal.
Adapun tahap-tahap
penerapan model pembelajaran penemuan konsep adalah sebagai berikut, pertama,
melibatkan penyajian data pada pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan
negatif setiap data yang diberikan merupakan konsep dan memiliki gagasan umum:
tugas siswa adalah menggambarkan satu hipotesis tentang sifat dari konsep
tersebut. Para pembelajar diminta untuk membandingkan dan memverifikasi
sifat-sifat dari contoh-contoh yang positif dan negatif. Pada akhirnya siswa
diminta untuk memahami konsep-konsep mereka.
Kedua, siswa menguji
penemuan konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari
hipotesis siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan
sebagaimana mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa
mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa
mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
model pembelajaran ini merupakan
perangkat evaluasi unggul saat guru ingin mengetahui sejauh mana siswa mampu
menguasai gagasan penting yang mereka ajarkan dan dapat memberikan laporan
tentang kedalaman pemahaman siswa
sekaligus memperkuat pengetahuan mereka sebelumnya. Model pencapaian konsep (Concept
Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk
mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk
mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif. Hal yang paling
utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang
tepat untuk konsep yang diajarkan. Selain itu adanya
pemilihan non contoh pada model
pembelajaran ini membuat siswa
membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh.
Keberhasilan proses pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dalam proses
pembelajaran diantaranya penggunaan model pembelajaran, metode pembelajaran,
media pembelajaran, dan teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru.
Pemilihan model pembelajaran dan penggunaan media dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
menurut model, konsep diri siswa dalam satu
pembelajaran dalam satu subjek pembelajaran memberikan pengaruh positif pada
prestasinya dalam hal yang sama, tetapi efek negatif pada prestasi di bidang
lain dalam subjek pembelajaran yang lain. Model menunjukkan bahwa bersebelahan
dengan konsep diri akademik yang lebih tinggi cenderung menginvestasikan lebih
banyak waktu untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran dalam subjek
pembelajaran koresponden: di sisi lain, waktu yang dihabiskan untuk belajar
untuk mata pelajaran lain akan menurun secara relatif.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Model pembelajaran pencapaian konsep adalah
suatu model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep pada siswa,
dimana guru mengawali pengajara dengan menyajikan data atau contoh, kemudian
guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep (concept
attainment) merupakan proses mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat
digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang
tidak tepat dari berbagai kategori.
Dalam model pencapaian konsep
diketahui bahwa dalam proses berpikir sang anak atau peserta didik memiliki
tingkat-tingkat pencapaian konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang
sempurna yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan
tingkat formal. Adapun tahap-tahap penerapan model
pembelajaran penemuan konsep adalah pertama, melibatkan penyajian data pada
pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan negatif setiap data yang diberikan
merupakan konsep dan memiliki gagasan umum. Kedua, siswa menguji penemuan
konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari hipotesis
siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan sebagaimana
mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa
mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa
mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
Model pencapaian konsep termasuk salah satu jenis model
pembelajaran yang dapat mengolah informasi yang bertitik berat pada cara-cara
untuk memperkuat dorongan internal siswa dalam memahami ilmu pengetahuan. Model pencapaian konsep (Concept
Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk
mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk
mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif.
3.2. Saran
Dalam penyusnan makalah
ini, penyususn sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi semaksimal
mungkin. Tetapi tidak menuutup kemungkinan adanya kekeliruan pada
penyusunannya. Oleh karena itu penyusun mengharapkan pembaca untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya dan harapan bagi penyusun semoga makalah
inni dapat memberi manfaat dalam proses pembelajaran sttategi melajar mengajar
fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani. 2015. Problema dan Aksioma Dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa
Indonesia.
Yogyakarta.
Deepublish
Basapur, Jagadeesh. 2018. Concept Attainment Strategy In Science
Discipline. Unites States:
Lulu
Publication.
Darmandi. 2017. Pengembangan model dan metode pembelajaran
dalam dinamika belajar
siswa.
Deepublish: CV Budi utama
Ishak, Low Suet Fin and Zahari . 2014. Non-academic self concept and academic
achievement: the indirect effect mediated
by academic self consept.
Journal
in
Organizational Psychology &
Educational Studies 3(3) 184-188. ISSN: 2276-84
Laela, Farihatul Faizah, Sugiyarto dan Suparmi.
2018. Pembelajaran IPA menggunakan
consept attaiment model
dengan media rill dan media gambar di tinjau dari
kemampuan berfikir
kognitif dan persepsi kreativitas siswa.
Jurnal
inkuiri. ISSN: 2252-
7893, Vol. 7, No. 1
Lone,
Parveez Ahmad and Tariq Ahmad Lone.2016. As sudy on relation between self concept
and academic achievement among secondary
school students of dammu district.
Journal of Education and Practice. ISSN
2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X (Online)
Vol.7, No.31
Mazlan,
siti norlia dan abdul rahim mohd meerah. 2017. Relationship between academic self
concept
and academic achiment among uttm centre of fottball athletes. International
Journal of Management and Applied
Science, ISSN: 2394-7926. Volume-3
Nando,
Farida. T, H. Fihrin dan H. Muhammad. 2016. Penerapan
model pembelajaran
pencapaian konsep
untuk peningkatan pemahaman konsep Fisika
pada siswa kelas X
SMA Negeri 8 Palu. Jurnal
Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 4 No. 4
ISSN
2338 3240
Narasimhan,
Pavithra. 2018. Self – Concept and achievement motivation as a
predictor of
academic stress among high school
students of ICSE board, chennai. The
International
Journal of Indian Psychology ISSN 2348-5396 (e) | ISSN: 2349-
3429.
Volume 6
Ofori,
Alex, dkk. 2017. Relationship
between motivation, academic self-concept and
academic achievement amongst students at a Ghanaian
Technical University.
International
Journal of Human Resource Studies. ISSN
2162-3058. Vol. 7,
No.
1
Prabhakaram. 2006. Concept Attainment Model In Mathematics Teaching.
New Delhi:
Discovery
Publishing House.
Phye, Gary D. 1997. Hand book of classroom assessmet learning,
achievement, and
adjustment.
Lowa: Department of psychology lowa state university
Riadawati. Dkk. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran Concept
Attainment Terhadap
Aktivitas
dan Hasil Belajar Biologi Siswa di Kelas XI IPA SMAN 11
Bulukumba.
Jurnal Biotek. Vol. 5, No. 2.
Sahara, LA. 2015. Penerapan medel consept teaching pendekatan consept attaimment untuk
meningkatkan pemahaman konsep IPA
FISIKA siswa kelas VIII, SMP NEGERI 5
KENDARI pada materi pokok usahan
dan energi. Jurnal Pendidikan Fisika dan
Teknologi. ISSN. 2407-6902. Volume I No 2.
Sanjaya wina dan andi
budimanwijaya. 2017. Peradigma baru
mengajar. Jakarta: PT.
Balebat
dedikasi prima
Siddiqui.
2008. Excellence Of Teaching. New
Delhi: S.B. Nangia.
Singh.
2008. Education Technology: Teaching
Learning. New Delhi: S.B. Nangia.
Situmorang, Adi
Suarman. 2013. Peningkatan kemampuan
pemahaman dan kreativitas
matematis siswa dengan
menggunakan model pencapaian konsep. jurnal
Penelitian
Bidang Pendidikan. Vol 19 n0 1. ISSN 0852-0151
Sumartini, Tina sri. 2015. Mengembangkan self concept siswa melalui
model pembelajaran
concept attainment. Jurnal pendidikan matematika vol.4 no. 2.
Issn: 2086-4280
Yunita, yuyun, dkk. 2017. Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis
multietnik.
Deepublish:
CV Budi utama
Yulhendri dan Rita Syofyan. 2016. Pendidikan Ekonomi untuk Sekolah Menengah
Perencanaan,
Strategi, dan Materi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Komentar
Posting Komentar