MAKALAH STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA “Model Pencapaian Konsep”


STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA
“Model Pencapaian Konsep”



DOSEN PENGAMPU :
DWI AGUS KURNIAWAN, S.Pd., M.Pd
Drs. M. HIDAYAT, M.Pd

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 1 :
Imam Akbar  (A1C317034)
Dialola Gustia Mararengga(A1C317068)
Shania Nurdini (A1C317078)



PENDIDIKAN FISIKA
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018







KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan seruan alam yang selalu melimpahkan petunjuk, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalan ini dengan judul “Pengetahuan dan teknik pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan”.
Penulisan makalah ini bertujuan dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Pengelolaan Pendidikan dan menambah pengetahuan serta wawasan dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang pendidikan fisika. Selama proses penulisan makalah ini hingga selesai banyak sekali kesulitan-kesulitan yang penulis temui baik dalam proses mencari sumber maupun dalam merangkai kata demi kata. Namun berkat usaha yang gigih dan tidak pernah menyerah serta kerja sama yang baik dari kelompok, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan, penyusunan kata demi kata maupun dalam penyusunan bahasa. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun yang akan penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.









Jambi, 27 Oktober 2018


       Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah 1
1.2.Rumusan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Model Pencapaian Konsep 3
2.2.Tahap – tahap Model Pencapaian Konsep 13
2.3.Penggunaan Model Pencapaian Konsep 15
2.4.Dampak Pencapaian Konsep 25
2.5.Unsur Unsur Model Pencapaian Konsep .......................................................30
Kajian Kritis 32
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 34
3.2  Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35









BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan menentukan kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain pendidikan merupakan tumpukan utama dalam menghadapi era globalisasi. Saat ini sistem pendidikan telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendididkan berfungsi untuk menyeleksi manusia berbakat, terampil dan mampu membawa masyarakat berkembang ke arah kondisi yang dipersyaratkan oleh masa depan bangsa
Guru sebagai salah satu komponen pendidikan dan merupakan suatu bidang profesi, mempunyai peranan yang sangat vital didalam proses belajar mengajar untuk membawa anak didiknya kepada kedewasaan dalam arti yang sangat luas. Bahkan boleh dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses belajar mengajar ini 60% terletak ditangan guru.
Oleh karena itu proses belajar mengajar yang dibabaki oleh guru tidak akan pernah tenggelam atau digantikan oleh alat atau lainnya. Dizaman modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi telah merambah seluruh sektor kehidupan. Produk iptek telah menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih praktis dan lebih mudah, sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukan dan diperoleh saat ini dengan mudah dapat segera diwujudkan termasuk didalam dunia pendidikan produk teknologi telah menjadi guru kedua bagi anak.
Selain dari pada itu, pendidikan yang hanya menggunakan metode-metode lama yang mana guru hanya menerangkan dan memberi tugas kepada siswa, yang membuat siswa bosan, akhirnya proses belajar-mengajar menjadi tidak menarik dan membosankan, yang akhirnya tidak ada kemajuan didalam dunia pendidikan. Oleh karena itu perlu adanya model-model pembelajaran yang dijadikan pedoman untuk guru agar proses belajar mengajar lebih menarik yang nantinya mampu membentuk anak didiknya karena kedewasaan seperti yang diharapkan.



1.2.            Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian model pencapaian konsep ?
2. Apa saja tahap – tahap model pencapaian konsep?
3. Bagaimana penggunaan model pencapaian konsep?
4. Bagaimana dampak dari model pencapaian konsep?
1.3.            Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengertian model pencapaian konsep.
2.      Dapat mengetahui tahap – tahap model pencapaian konsep.
3.      Dapat mengetahui penggunaan model pencapaian konsep.
4.      Dapat mengetahui dari model pencapaian konsep.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Model Pencapaian Konsep
Menurut Moore dalam (Risdawati, 2017, 2) Konsep didefinisikan secara ostensif, artinya dapat diidentifikasi dengan menunjuk entitas tertentu memiliki keberadaan yang nyata (yaitu benda fisik). Namun, ditetapkan konsep adalah kategorisasi abstrak, sering didefinisikan dalam hubungannya  dengan konsep lain (yaitu demokrasi, kebebasan, teman). Konsep yang ditetapkan  mungkin lebih menantang belajar karena sifat abstrak dan kurang nyata. Konsep disusun  secara efisien ke dalam struktur hirarkis yang menandakan hubungan dengan konsep lainnya. Struktur ini membentuk taksonomi yang menggambarkan bagaimana mengkoordinasikan, mengaudit, mengkoordinasikan, dan mengasosiasikan konsep bawahan satu sama lain.
Model penemuan konsep,menurut tokoh Jerome Brunner tujuannya dirancang terutama untuk mengembangkan penalaran induktif, tetapi untuk perkembangan dan analisis konsep (Andayani. 2015:141).
Menurut Bruner, dkk dalam (Yolhendri, 2016, 26) model penemuan konsep relativ sama dengan model induktif, yaitu dirancang untuk mengajarkan konsep dan membantu siswa lebih efektif dalam mempelajari konsep. Model ini merupakan metode efisien dalam menyajikan informasi yang tersusun dan terencanadari ruang lingkup topik yang luas bagi siswa pada tiap tingkatan.
Pada teori Joyce & Weil mengartikan bahwa model concept attainment adalah model pembelajaran yang dirancang untuk menata atau menyusun data sehingga konsep-konsep penting dapat dipelajari secara tepat dan efisien. Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa tidak hanya dituntut untuk mampu membentuk konsep melalui proses pengklasifikasian data akan tetapi mereka juga harus dapat membentuk susunan konsep dengan kemampuan sendiri. (Martala Sari, Jeli Apriani, 2017:138)
Model pembelajaran pemerolehan konsep adalah proses mengidentifikasi dan mendefinisikan konsep dengan jalan menemukan atributnya yang paling esensial sesuai  dengan pengertian konsep yang dipelajari. Atribut tersebut harus membedakan contoh  konsep itu dengan yang bukan contoh konsep. Oleh karena itu model pembelajaran pemerolehan konsep (Concept Attainment) adalah model pembelajaran induktif yang dirancang membantu siswa segala umur untuk belajar konsep sekaligus mempraktikkan keterampilan berpikir analitis. (Miftakhul Ilmi,2017:2)
Model pencapaian konsep adalah jenis penyelidikan terstruktur yang membantu siswa tentukan perbedaan antara informasi yang relevan dan yang tidak relevan, amati, klasifikasikan, dan menarik kesimpulan. Sebagai siswa memeriksa data dan mencari atribut kritis, mereka berkembang dalam kemampuan berpikir kritis. Berpikir harus menjadi bagian mendasar dari kursus sains manapun. Proses ini meningkatkan pembelajaran jangka panjang dan pengembangan keterampilan penalaran induktif. Pengembangan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan induktif ini digunakan dengan konsep biologi agar siswa dapat memperoleh keterampilan dan belajar konsep.(Joy R. Mayer,2017:11)
Model concept attainment lebih memfokuskan pada pengembangan berpikir kritis siswa dalam bentuk menguji hipotesis. Dalam pembelajaran harus ditekankan pada analisis siswa terhadap hipotesis yang ada dan mengapa hipotesis itu diterima, dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus dilatih dalam menciptakan jenis-jenis kesimpulan, seperti membuat contoh penyangkal atau non-contoh, dan sebagainya. Penerapan model pembelajaran ini sangat menekankan pada dua aspek tersebut, yaitu pengembangan konsep dan korelasi antara konsep yang terkait erat, serta latihan berpikir kritis terutama dalam merumuskan dan menguji hipotesis. (Nazar Muhammad, Djufri, Muhibbuddin, 2017:14)
Model pencapaian konsep adalah mencari dan menemukan manifestasi yang digunakan untuk mendeteksi contoh dari non-contoh kelas Dengan kata lain, dalam model ini peserta didik membandingkan contoh yang tidak termasuk manifestasi dan dengan demikian menemukan manifestasi subjek yang sudah ada di benak guru, model ini penting untuk dipelajari bagaimana klasifikasi, cara berpikir dan bagaimana cara menerima konsep kepada siswa dan guru model harus mendukung dan membimbing asumsi siswa. Apalagi sudah dipilih dan diatur masuk konsep sampel positif dan negatif dan mengarahkan peserta didik untuk mencapai konsep ini. Model ini memungkinkan siswa untuk melakukannya konseptualisasi maju, konsep spesifik, penalaran induktif, dominasi dan pengetahuan tentang penglihatan, perspektif, toleransi terhadap ambiguity as dan kepekaan terhadap penalaran logis dalam komunikasi. (Golnaz Ostad, Javad Soleymanpour,2014:2)
Model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep pada siswa, dimana guru mengawali pengajara dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep (concept attainment) merupakan proses mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori Risdawati, dkk. 2017 : 122)
Academic self-concept is defined as the individual’s assessment of his or her ability to learn in the school context in comparison to relevant others in the school (Brookover, 1959). The non-academic self-concept is about the perception of oneself in the non-academic activities (Suntonrapot, Auyporn & Thaweewat, 2009). In this study, the non-academic self-concept comprised the aspects of social, physical, moral and ethical, personal and family. According to Fitts and Warren (1996), physical self-concept describes a person’s view of his or her health, appearance, physical skills and sexuality, moral and ethic self-concept measures people’s satisfaction with their own conduct; it is related to the sense of being able to control one’s own impulses and behaviour. Personal self-concept provides input on a person’s sense of adequacy and self-determination apart from physical attributes or relationship with others. Family self-concept reflects how people view themselves in relation to their family and close associates. Social self-concept gives indication on how individuals perceive themselves in relation to peers, besides family members and close friends ( Ishak, 2014 : 184)
Self-concept is defined as a general view about oneself across various sets of specific domains and perceptions based on self-knowledge and evaluation of values through experiences in relation to one’s environment according to Eccles (2005). General self-concept consists of academic self-concept, social self-concept, physical self-concept and emotional self-concept. Referring to Yahaya (2000) concluded that our academic self- concept relates to how well we do in school or how we learn. There are two levels : a general academic self-concept of how good we are overall and a set of specific content-related self-concepts that describe how good we are in math, science, language, arts, social science, etc Yahaya (2000).
Self – concept is an idea of the self-constructed from the beliefs one holds about oneself and the response of others. It is a judgment of oneself as well as an attitude toward the self and encompasses beliefs about oneself. Self-concept is the construct that negotiates these two selves. In other words, it connotes first the identification of the ideal self as separate from others, and second, it encompasses all the behaviors vetted in the actual self that you engage in to reach the ideal self.
The actual self is built on self-knowledge. Self-knowledge is derived from social interactions that provide insight into how others react to us and the ideal self is the self that we imagined to be.
According to Baumeister (1999) provides the following self-concept definition:"The individual's belief about himself or herself, including the person's attributes and who and what the self is".
Stanley Hall (1904) described adolescence as a period of great “storm and stress”, corresponding to the time when the human race was in a turbulent, transitional stage on the way to becoming civilized (Lama Majed Al-Qaisy and Jihad Turki, 2011). Adolescence is the period of heightened sensitivity for rapid learning and of critical acquisitions which determine the general style of adult life. Adolescence is the period of transition from a relative dependent childhood to the psychological, social and economic self-sufficiency of adulthood (Shubhangi Kamble, 2009). It is the time during which many developmental changes take place in the individual like the way he thinks, looks and behaves. Adolescence is the period of time when the surge of life reaches its highest peak (Jersild, 1963). Adolescence can be a time of high risk for children, where newfound freedoms can result in decisions that drastically open up or close off life opportunities. Achievement during this period can be a stepping stone for the forthcoming year. Only if an adolescent has good achievement motivation and self-concept he can succeed in life (narasimban, 2018: 152-153)
Menurut Cokley dalam Mazlan, 2017, 71-73)  definition of academic self-concept can be broadly considered to be how a student views his or her academic ability when compared to other students. Another definition of academic self-concept by Ireson and Hallam (2009) ‘it can be defined as student’s perception of their competence of, involvement in and interest in school according’. K. S. Liu, Cheng, Chen, and Wu (2009) stated that academic self-concept used in the present study is operationally defined as students’ perception of their competence and their commitment to, and involvement in and interest in schoolwork. Another academic self-concept explanation is the portion of the self-concept construct related specifically to learning.
One's self-concept (also called self-construction, self-identity, or self-perspective) is a collection of beliefs about oneself that includes elements such as academic performance, gender roles and sexuality, and racial identity. Generally, self-concept embodies the answer to "Who am I?" One's self-concept is made up of self-schemas, and their past, present, and future selves. Self-concept is distinguishable from self-awareness, which refers to the extent to which self-knowledge is defined, consistent, and currently applicable to one's attitudes and dispositions. Self-concept also differs from self-esteem: self-concept is a cognitive or descriptive component of one's self (e.g. "I am a fast runner"), while self-esteem is evaluative and opinionated (e.g. "I feel good about being a fast runner").
Academic achievement is a dynamic process. It plays a very significant and vital role in the attainment of harmonious development of child in all walks of life. Academic Achievement in general refers to the degree of proficiency attained in some specific area, concerning some scholastic and academic work. Academic achievement or (academic) performance is the outcome of education — the extent to which a student, tea cher or institution has achieved their educational goals. Academic achievement is commonly measured by examinations or continuous assessment but there is no general agreement on how it is best tested or which aspects are most important — procedural knowledge such as skills or declarative knowledge such as facts. When students feel safe, engaged, and respected, they can focus on their academic goals. Effective character educators ensure that these needs are met. Character education is the foundation upon which students can reach academic achievement. It’s not just about teaching kids to be good. It’s teaching them to be their best. According to Crow and Crow (1956) achievement means the extent to which learner is profiting from instructions in given area of learning. Academic Achievement is the outcome of education, the extent to which a student, teacher or institution has achieved their educational goals. This is measured either by examination or continuous assessments and the goal may, differ from individual to another. Torres (1994) defined academic achievement as the attained ability or degree of competence in school task usually measured by standardized test and expressed in grades or units based on worms derived from a wide sampling of pupil’s performance. Ker linger (1995) Stated that academic achievement is a complex phenomenon. It is an observation of certain behaviour of children which are associated with the Mastery of learning of school task, reading tests, reading words, doing arithmetic problems, drawing pictures so on (Lone, 2016: 19)
According to Drew and Watkins (1998), self-concept is a psychological construct which refers to a cluster of ideas and attitudes an individual holds about himself/herself. Mwamwenda (1995) regards self-concept as a person’s way of perceiving himself/herself and may be either positive or negative. In this study, academic self-concept is regarded as the main component of the self-concept. Cokley (2000) defines academic self-concept as “attitudes, feelings and perceptions relative to one’s intellectual or academic skills”. The same author considers academic self-concept to be how a student views his/her academic ability when compared with other students. Students attach a lot of importance to academic ability, so that self-acceptance is based largely on cognitive abilities (Cokley 2000). A student with a negative academic self-concept, for example, might just avoid studying hard because he would regard the subject content as too difficult. McCoach and Siegle (2003) point out that academic self-concept involves a description and an evaluation of one’s perceived academic abilities and encompasses beliefs of self-worth associated with one’s perceived academic competence. These authors state further that students compare their own performance with that of their classmates (an internal comparison). This implies that students’ academic self-concepts are determined by their perceptions of their academic ability in an area as well as their assessment of their academic standing relative to their classmates (McCoach and Siegle 2003). The same authors regard academic self-concept as a significant predictor of academic achievement (Ofori, 2017 : 64)
Terjemahan:
Konsep diri akademik didefinisikan sebagai penilaian individu tentang kemampuannya untuk belajar dalam konteks sekolah dibandingkan dengan orang lain yang relevan di sekolah (Brookover, 1959). Konsep diri non-akademik adalah tentang persepsi diri dalam kegiatan non-akademik (Suntonrapot, Auyporn & Thaweewat, 2009). Dalam penelitian ini, konsep diri non akademik terdiri dari aspek sosial, fisik, moral dan etika, pribadi dan keluarga. Menurut Fitts dan Warren (1996), konsep-diri fisik menggambarkan pandangan seseorang tentang kesehatannya, penampilan, keterampilan fisik dan seksualitas, konsep-diri moral dan etika mengukur kepuasan orang-orang dengan perilaku mereka sendiri; ini terkait dengan perasaan mampu mengendalikan dorongan dan perilaku seseorang.Konsep diri pribadi memberikan masukan pada rasa kecukupan dan penentuan nasib sendiri seseorang terlepas dari atribut fisik atau hubungan dengan orang lain. Konsep diri keluarga mencerminkan bagaimana orang memandang diri mereka dalam hubungannya dengan keluarga dan rekan dekat mereka. Konsep-diri sosial memberi indikasi tentang bagaimana individu memandang diri mereka dalam hubungannya dengan teman sebaya, selain anggota keluarga dan teman dekat.
Konsep diri didefinisikan sebagai pandangan umum tentang diri sendiri di berbagai set domain dan persepsi tertentu berdasarkan pengetahuan diri dan evaluasi nilai melalui pengalaman dalam kaitannya dengan lingkungan seseorang menurut Eccles (2005). Konsep-diri umum terdiri dari konsep-diri akademik, konsep-diri sosial, konsep-diri fisik dan konsep-diri emosional. Mengacu pada Yahaya (2000) menyimpulkan bahwa konsep diri akademik kita berhubungan dengan seberapa baik kita di sekolah atau bagaimana kita belajar. Ada dua tingkatan : konsep diri akademik umum tentang seberapa bagus kita secara keseluruhan dan satu set konsep-diri spesifik yang berhubungan dengan konten yang menggambarkan seberapa baik kita dalam matematika, sains, bahasa, seni, ilmu sosial, dll. Yahaya (2000) ).
Konsep diri adalah gagasan tentang diri yang dibangun dari keyakinan yang dipegang seseorang tentang diri sendiri dan respon orang lain. Ini adalah penilaian diri sendiri serta sikap terhadap diri sendiri dan mencakup keyakinan tentang diri sendiri. Konsep diri adalah konstruksi yang menegosiasikan kedua diri ini. Dengan kata lain, ini berkonotasi pertama-tama identifikasi diri ideal sebagai terpisah dari yang lain, dan kedua, ia mencakup semua perilaku yang diperiksa dalam diri yang sebenarnya yang Anda lakukan untuk mencapai diri ideal.
Diri yang sebenarnya dibangun berdasarkan pengetahuan diri. Pengetahuan diri berasal dari interaksi sosial yang memberikan wawasan tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita dan diri ideal adalah diri yang kita bayangkan.
Menurut Baumeister (1999) memberikan definisi konsep diri berikut: "Keyakinan individu tentang dirinya sendiri, termasuk atribut seseorang dan siapa dan apa diri itu".
Stanley Hall (1904) menggambarkan masa remaja sebagai periode “badai dan stres” besar, sesuai dengan waktu ketika umat manusia berada dalam tahap transisi yang bergolak dalam perjalanan untuk menjadi beradab (Lama Majed Al-Qaisy dan Jihad Turki, 2011 ). Masa remaja adalah periode kepekaan yang meningkat untuk pembelajaran cepat dan akuisisi kritis yang menentukan gaya umum kehidupan dewasa. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak yang relatif tergantung pada kemandirian psikologis, sosial dan ekonomi dari masa dewasa (Shubhangi Kamble, 2009). Ini adalah waktu di mana banyak perubahan perkembangan terjadi pada individu seperti cara dia berpikir, melihat, dan berperilaku. Masa remaja adalah periode waktu ketika gelombang kehidupan mencapai puncak tertingginya (Jersild, 1963). Masa remaja dapat menjadi waktu risiko tinggi bagi anak-anak, di mana kebebasan yang baru ditemukan dapat menghasilkan keputusan yang secara drastis membuka atau menutup peluang hidup. Pencapaian selama periode ini bisa menjadi batu loncatan untuk tahun yang akan datang. Hanya jika seorang remaja memiliki motivasi berprestasi dan konsep diri yang baik ia dapat berhasil dalam kehidupan.
Cokley (2000) definisi konsep diri akademik dapat secara luas dianggap bagaimana seorang siswa memandang kemampuan akademiknya ketika dibandingkan dengan siswa lain. Definisi lain dari konsep diri akademik oleh Ireson dan Hallam (2009) 'dapat didefinisikan sebagai persepsi siswa tentang kompetensi mereka, keterlibatan dan minat di sekolah yang sesuai'. KS Liu, Cheng, Chen, dan Wu (2009) menyatakan bahwa konsep diri akademik yang digunakan dalam penelitian ini secara operasional didefinisikan sebagai persepsi siswa tentang kompetensi mereka dan komitmen mereka untuk, dan keterlibatan dalam minat dalam sekolah. Penjelasan konsep diri akademik lainnya adalah bagian dari konsep konsep diri yang berkaitan dengan pembelajaran (Hardy, 2013).
Konsep diri seseorang (juga disebut konstruksi diri, identitas diri, atau perspektif diri) adalah kumpulan keyakinan tentang diri sendiri yang mencakup unsur-unsur seperti kinerja akademik, peran gender dan seksualitas, dan identitas ras. Umumnya, konsep diri mewujudkan jawaban untuk "Siapa saya?" Konsep diri seseorang terdiri dari skema diri, dan masa lalu, masa kini, dan masa depan mereka.Konsep diri dapat dibedakan dari kesadaran diri, yang mengacu pada sejauh mana pengetahuan diri didefinisikan, konsisten, dan saat ini berlaku untuk sikap dan disposisi seseorang. Konsep diri juga berbeda dari harga diri: konsep diri adalah komponen kognitif atau deskriptif dari diri sendiri (misalnya "Saya pelari cepat"), sedangkan harga diri adalah evaluatif dan berpendirian (misalnya, "Saya merasa senang menjadi pelari cepat.
Prestasi akademik adalah proses yang dinamis. Ini memainkan peran yang sangat signifikan dan vital dalam pencapaian perkembangan anak yang harmonis dalam semua bidang kehidupan. Prestasi akademik secara umum mengacu pada tingkat kemahiran yang dicapai di beberapa bidang tertentu, mengenai beberapa pekerjaan skolastik dan akademik. Prestasi akademik atau prestasi (akademik) adalah hasil dari pendidikan - sejauh mana seorang mahasiswa, petani atau lembaga telah mencapai tujuan pendidikan mereka. Pencapaian akademik biasanya diukur dengan pemeriksaan atau penilaian berkelanjutan tetapi tidak ada kesepakatan umum tentang cara terbaik diuji atau aspek mana yang paling penting - pengetahuan prosedural seperti keterampilan atau pengetahuan deklaratif seperti fakta.Ketika siswa merasa aman, terlibat, dan dihormati, mereka dapat fokus pada tujuan akademik mereka. Pendidik karakter yang efektif memastikan bahwa kebutuhan ini terpenuhi. Pendidikan karakter adalah fondasi di mana siswa dapat mencapai prestasi akademik. Bukan hanya mengajarkan anak-anak menjadi baik. Itu mengajarkan mereka untuk menjadi yang terbaik. Menurut Crow dan Crow (1956) prestasi berarti sejauh mana pelajar memperoleh keuntungan dari instruksi di bidang tertentu belajar. Prestasi akademik adalah hasil dari pendidikan, sejauh mana seorang siswa, guru atau lembaga telah mencapai tujuan pendidikan mereka. Ini diukur baik dengan pemeriksaan atau penilaian berkelanjutan dan tujuan mungkin, berbeda dari individu ke yang lain. Torres (1994) mendefinisikan prestasi akademik sebagai kemampuan yang dicapai atau tingkat kompetensi dalam tugas sekolah biasanya diukur dengan tes standar dan dinyatakan dalam kelas atau unit berdasarkan cacing yang berasal dari sampel yang luas dari kinerja murid. Ker linger (1995) Menyatakan bahwa prestasi akademik adalah fenomena yang kompleks. Ini adalah pengamatan perilaku tertentu anak-anak yang berhubungan dengan Penguasaan belajar tugas sekolah, tes membaca, membaca kata, melakukan masalah aritmatika, menggambar gambar seterusnya (Lone, 2016: 19)
Menurut Drew dan Watkins (1998), konsep diri adalah konstruksi psikologis yang mengacu pada sekelompok gagasan dan sikap yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Mwamwenda (1995) menganggap konsep diri sebagai cara seseorang mempersepsikan dirinya sendiri dan bisa positif atau negatif. Dalam penelitian ini, konsep diri akademik dianggap sebagai komponen utama konsep diri.Cokley (2000) mendefinisikan konsep diri akademik sebagai "sikap, perasaan dan persepsi relatif terhadap keterampilan intelektual atau akademik seseorang". Penulis yang sama menganggap konsep diri akademik untuk menjadi bagaimana seorang siswa memandang kemampuan akademisnya bila dibandingkan dengan siswa lain. Siswa melampirkan banyak hal penting untuk kemampuan akademik, sehingga penerimaan diri sebagian besar didasarkan pada kemampuan kognitif (Cokley 2000). Seorang siswa dengan konsep diri akademik negatif, misalnya, mungkin hanya menghindari belajar dengan giat karena dia akan menganggap isi pelajarannya terlalu sulit. McCoach dan Siegle (2003) menunjukkan bahwa konsep diri akademik melibatkan deskripsi dan evaluasi kemampuan akademis yang dirasakan seseorang dan mencakup keyakinan nilai diri yang terkait dengan kompetensi akademik yang dirasakan seseorang. Para penulis ini menyatakan lebih lanjut bahwa siswa membandingkan kinerja mereka sendiri dengan teman sekelas mereka (perbandingan internal). Ini menyiratkan bahwa konsep diri akademik siswa ditentukan oleh persepsi mereka tentang kemampuan akademis mereka di suatu area serta penilaian mereka terhadap posisi akademis mereka relatif terhadap teman sekelas mereka (McCoach dan Siegle 2003). Penulis yang sama menganggap konsep diri akademik sebagai prediktor signifikan dari prestasi akademik.

Dalam memandang proses belajar,Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.dalam teorinya,”free discovery learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,teori,aturan,atau pemahaman melalui contoh-contoh yangiyah jumpai dalam kehidupannya. Menurut bruner perkembangan kognitif seseorang dapat di angkat dengan cara menyusun materi pelajarandan menyajikan sesuai dengan tahap perkembangan orang  tersebut.
 Model pemahaman dari konsep bruner (dalam degeng 1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategorikan yang berbeda yang menurut proses berfikir yang berbeda pula. Menurutnya ,pembelajaran yang selma ini diberikan di sekolah banyak menekankan padan perkembangan kemampuanberfikir intuitif. Padaha  berfikir intuitif sangat penting untuk mempelajari bidang  sains,sebab setiap disiplin memiliki konsep-konsep,perinsip,dan prosedur yang harus di pahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep,arti,dan hubungan,melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan(discovery learning).beberapa perinsip teori bruner adalah:
a.       perkembangan kognitif ditandai dengan ada nya kemajuan menanggapi rangsang
b.      peningkatan pengetahuan bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistis
c.       perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain
d.      interaksi secara sistematis diperlukan antara pembimbing,guru dan anak untuk perkembangan kognitif
e.       bahasa adalah kunci perkembangan kognitif
f.       perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif  secara simultan,memilih tindakan yang cepat
g.      perkembangan kognitif dibagi dalam tiga tahap yaitu enactiv,iconic,symbolic.
h.      Enactif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktifitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya.(gigitan,sentuhan,pegangan)
i.        Iconik yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunia melauli gambar-gambar dan visualisasi verbal(anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan)
j.        Symbolic yaitu tahap seseorang telah mampu memilikiide-ide atau gagasan abstrak yang sangat di pengaruhi olehkemampuan dalam bahasa dan logika.(anak belajar melalui simbol bahasa,logika,matematika)
k.      Model pemahaman dan penemuan konsep
l.        Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep,arti,dan memahami proses intuitif untuk akhirnya sampai pada kesimpulan(discovery learning)
m.    Siswa diberi kebebasan untuk belajar sendiri melalui aktifitas menemukan(discovery) (darmandi, 2017: 16-17)
2.2. Tahap – tahap Model Pencapaian Konsep
Dalam memahami dan mengembangkan ksuatu konsep diperlukan berpikir induktif karena berfikir induktif dalam aplikasinya lebih doninan dan konsep pendekatan induktif sesuai dengankonsep metode ilmiah (Sulistiani, 2010). Dalam model pencapaian konsep diketahui bahwa dalam proses berpikir sang anak atau peserta didik memiliki tingkat-tingkat pencapaian konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan tingkat formal. Menurut teori Ausubel, individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu : melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak. Asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain (Situmorang, 2013: 53-54)
Adapun tahap-tahap penerapan model pembelajaran penemuan konsep adalah sebagai berikut, pertama, melibatkan penyajian data pada pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan negatif setiap data yang diberikan merupakan konsep dan memiliki gagasan umum: tugas siswa adalah menggambarkan satu hipotesis tentang sifat dari konsep tersebut. Para pembelajar diminta untuk membandingkan dan memverifikasi sifat-sifat dari contoh-contoh yang positif dan negatif. Pada akhirnya siswa diminta untuk memahami konsep-konsep mereka.
Kedua, siswa menguji penemuan konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari hipotesis siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan sebagaimana mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
Dalam proses pembelajaran guru harus bersikap simpatik kepda siswa, mengali perhatian siswa pada analisis terhadap konsep-konsep siswa dan strategi-strategi berfikir siswa. Yang perlu ditekankan dalam pembelajaran penemuan konsep adalah bukan menemukan atau menbuat konsep-konsep baru tetapi mendapatkan konsp-konsep sebelumnya yang telah dipilih oleh guru.
Model pembelajaran pecapaian konsep sangat membantu guru untuk dapat mengetahui tingkat pemahaman konsep pada siswa. According to Prabhakaram (2006: 15)  In phase two, to test student's attainment of the concept, the teacher presents unlabelled examples. The students categories them as positive or negative. The teacher probes for reasons and confirms their hypotheses. When the teacher knows that the students have attained the concept, the teacher names the concept as the students are not familiar with the name of the concept. Only when the students have already attained the concept, the teacher may ask the students to name the concept.

Terjemahan :
Menurut Prabhakaram (2006: 15) mengatakan Untuk menguji pencapaian konsep siswa, guru menyajikan contoh-contoh tak berlabel. Para siswa mengelompokkan mereka sebagai positif atau negatif. Guru memeriksa alas an dan menegaskan hipotesis mereka. Ketika guru tahu bahwa siswa telah mencapai konsep, guru menamai konsep tersebut karena siswa tidak akrab dengan nama konsep tersebut. Hanya ketika siswa sudah mencapai konsep, guru dapat meminta siswa untuk menyebutkan konsepnya.
2.3. Penggunaan Model Pencapaian Konsep
Salah satu cara yang dapat mendorong siswa untuk belajar secara bermakna adalah dengan penggunaan model pencapaian konsep (Joyce, 2009). Model pencapaian konsep termasuk salah satu jenis model pembelajaran yang dapat mengolah informasi yang bertitik berat pada cara-cara untuk memperkuat dorongan internal siswa dalam memahami ilmu pengetahuan (Situmorang, 2013: 53)
Sebagai salah satu alternatifnya menggunakan model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model). Menurut Joyce & Weil (2009: 139), model pembelajaran ini merupakan perangkat evaluasi unggul saat guru ingin mengetahui sejauh mana siswa mampu menguasai gagasan penting yang mereka ajarkan dan dapat memberikan laporan tentang kedalaman pemahaman siswa sekaligus memperkuat pengetahuan mereka sebelumnya. Model pencapaian konsep (Concept Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan. Selain itu adanya pemilihan           non      contoh pada    model pembelajaran ini membuat siswa membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dalam proses pembelajaran diantaranya penggunaan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Pemilihan model pembelajaran dan penggunaan media dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Tujuan menggunakan Concept Attainment Model adalah untuk memahami suatu konsep dengan cara memperkenalkan kepada siswa proses-proses yang berhubungan dengan pembentukan konsep. Hal ini mencakup pengertian tentang kaitan diantara contoh-contoh dan karakteristik konsep serta strategi berpikir siswa yang digunakan untuk memahami konsep. Penggunaan media pembelajaran terutama media riil dapat diterapkan kepada siswa dikarenakan siswa dapat mengamati secara langsung obyeknya sehingga dapat menumbuhkan minat belajar yang tinggi, selain itu media gambar dapat memperjelas hubungan antara isi materi pembelajaran dengan dunia nyata. Media gambar dapat menyuguhkan elaborasi yang menarik tentang struktur atau organisasi suatu hal, sehingga juga memperkuat ingatan
Strategi pencapaian konsep, digunakan untuk menfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam daerah asal tersebut ( Yunita, 2015 : 38).
Manakala materi pelajaran bersifat kompleks dan “belum jadi”sehingga memerlukan proses berpikir untuk ditemukan sendiri oleh siswa ditambah lagi pengalaman belajar sebagai tujuan pembelajaran bukan hanya sekedar siswa dapat menyimak penjelasan guru, akan tetapi dapat berpikir kritis menggunakan potensi otak mengeluarkan gagasan dan ide-ide baru, maka pengalaman belajar dirancang dengan strategi yang lain misalnya dengan strategi mencari dan menemukan (SPI) melalui penggunaan metode diskusi, pencapaian konsep, dan buzz group. Penggunaan berbagai metode tersebut dijelaskan pada bagian tersendiri ( Budimanjaya, 2017 : 154).
Model concept teaching merupakan model yang dikembangkan untuk mengajarkan konsep-konsep kunci agar siswa dapat berpikir dengan tingkat lebih tinggi dan menjadi dasar bagi pemahaman-bersama dan komunikasi. Ada beberapa pendekatan dalam model concept teaching, tetapi ada dua pendekatan dasar yakni direct presentation dan concept attainment. Sintaksis model concept teaching pendekatan concept attainment yakni:
1.       mengklarifikasikan maksud dan establising set
2.      memberi masukan contoh dan bukan contoh yaitu memberi ilustrasi, mengidentifikasi atribut kritis dan non kritis, mendefinisikan konsep dan diakhiri memberi nama konsep dari contoh dan bukan contoh yang diberikan
3.      menguji pencapaian
4.      menganalisis proses berpikir dan integrasi pembelajaran siswa
Dalam melaksanakan pengajaran konsep perlu analisis konsep sebagai prosedur yang dapat menolong guru dalam merencanakan pengajaran konsep bagi pencapaian konsep yakni:
1.      nama konsep
2.      atribut-atribut kriteria dan atribut-atribut variabel dari konsep
3.      definisi konsep, contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep
4.      hubungan konsep dengan konsep-konsep lain. Hal ini menunjukkan seorang guru perlu memahami konsep dengan baik, termasuk dalam memahami konsep fisika.
Aktivitas belajar siswa yang nampak melalui pendekatan concept attainment dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      memperhatikan penjelasan guru tentang contoh dan bukan contoh
2.      mengidentifikasi contoh dan bukan contoh
3.      menyatakan atribut kritis dan non kritis konsep
4.      membedakan ciri-ciri/atribut kritis dan non kritis dari konsep
5.      memberikan definisi konsep sesuai atribut kritis dan non kritis 
6.      memberi nama (labeling) konsep
7.      membenarkan jawaban terhadap contoh baru dari guru sesuai atribut kritis konsep;
8.      menyebutkan contoh dan bukan contoh baru sesuai atribut kritis konsep yang diketahui siswa
9.      mempresentasikan hasil kerja.
Terdapat lima sifat dari konsep yakni:
1.      ditempatkan dalam kategori-kategori
2.      dipelajari melalui contoh dan bukan contoh
3.      memiliki definisi dan label
4.       memiliki atribut-atribut kritis
5.      memiliki atribut-atribut non kritis. Konsep-konsep tersebut dipelajari oleh siswa agar memiliki pemahaman konsep . Pemahaman merupakan kemampuan menangkap makna dari suatu konsep yang memerlukan hubungan antar konsep dengan makna yang ada dalam konsep tersebut.
Kaitannya dengan pemahaman konsep, dalam revisi taksonomi Bloom dinyatakan bahwa “kemampuan            memahami”    terdiri  dari:    
1.      menafsirkan     
2.      mencontohkan
3.      mengklasifikasikan
4.      merangkum
5.      menyimpulkan
6.       membandingkan
7.       menjelaskan.
Dengan demikian, pemahaman konsep merupakan kemampuan untuk mengerti atau menangkap makna dan arti konsep yang dipelajari, dapat menyatakan ulang, mengklasifikasikan, menyajikan, mengembangkan, memanfaatkan dan mengaplikasikan materi yang dipelajari (Sahara,2015: 109)
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pelajaran berbasi multietnik,antara lain:setrategi kegiatan belajar bersama-sama (cooperativ learning), yang digunakan dengan setrategi pencapaian konsep (concept attainment) dan strategi analis nilai(value analysis), strategi analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanalan secara simultan,dan tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multietnik. Namun demikian,masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi pencapaian konsep,digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan kosep budaya apa yangdianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing,dan selanjutnya menggali nilai-nilai yangterkandung dalam budaya daerah asal terebut. Strategi cooperative learning,digunakan umtuk menandai adanya perkembangan kemampuansiswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasakan konsep dan nilai budaya lokal dari daerah dalam komonitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multietnik,penggunaan strategi cooperative learning,diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari  kemampuan ini,siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain,toleransi terhadap perbedaan,akomondatif,terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman(orang lain)yang berbeda suku,agama,etnis,dan budanya,memeiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu,penggunaan strategi coopertife learning dalam belajar dapat meningkatkan kualitas dan efektifitas proses belajar siswa,susunan belajar yang kondusif ,membangun interaksi aktif antara siswa dengan guru,siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis lain,difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berfikir secara indukatif,dan setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan) (yunita, 2017. 63-64)

One of the components of self-concept is academic self-concept. According to Trautwein, Lüdtke, Köller, and Baumert (2006) academic self-concept is referred to as a person’s self-evaluation regarding specific academic domains or abilities. Studies in academic self-concept mostly focused on children in school subject such as language, mathematics and other basic subject.
The self-concept is an important term for both social and humanistic psychology. Lewis (1990) suggests that the development of a concept of self-has two aspects:
·         The Existential Self
This is 'the most basic part of the self-scheme or self-concept; the sense of being separate and distinct from others and the awareness of the constancy of the self' (Bee, 1992). The child realizes that they exist as a separate entity from others and that they continue to exist over time and space.       
According to Lewis awareness of the existential self-begins as young as two to three months old and arises in part due to the relation the child has with the world. For example, the child smiles and someone smiles back, or the child touches a mobile and sees it move.
·         The Categorical Self
Having realized that he or she exists as a separate experiencing being, the child next becomes aware that he or she is also an object in the world.
Just as other objects including people have properties that can be experienced (big, small, red, smooth and so on) so the child is becoming aware of him or herself as an object which can be experienced and which has properties The self too can be put into categories such as age, gender, size or skill.
In early childhood, the categories children apply to themselves are very concrete. Later, self-description also begins to include reference to internal psychological traits, comparative evaluations and to how others see them.
Carl Rogers (1959) believes that the self-concept has three different components:
  The view we have of yourself (self-image)
  How much value we place on yourself (self-esteem or self-worth)
  What we wish you were really like (ideal-self)
People with good self -concept tend to be more accepting of others. High self-esteem is related to independence and an open mind. The dissonance between a person’s self-concept and actual experiences is a chronic source of anxiety and can even result in mental disorder (Narasimhan, 2018: 152-153)
In an investigation of academic achievement in African-American college students (Cokley 2000), there was a strong positive correlation between academic self-concept and grade point average (GPA) scores. It was also found that students with higher GPAs had statistically higher academic self-concept scores than students with lower GPAs. In a study by Kobal and Musek (2001), French students turned out to be more successful in school than Slovenians and it is further stated that the findings support the possibility that the higher academic achievement of French students is mostly related to their higher academic self-concept. Chowdhury and Pati, in Awan et al. (2011) assert that “self-concept plays a significant role in the educational process when a child is accepted, approved, respected and liked, and one will have an opportunity to acquire an attitude of self-acceptance and respect for oneself”. According to Wang and Lin, in Awan et al. (2011), self-concept was seen as the general confidence that individuals felt about themselves and the levels of an individual’s self-concept predict the extent to which he or she was able to accomplish academic tasks successfully or unsuccessfully. They further argue that much of the earlier interest in the self-concept versus achievement relationship stem-med from the belief that academic self-concept had motivational functions and thus, changes in academic self-concept would lead to changes in subsequent academic achievement.
According to Chowdhury and Pati, in Awan et al. (2011), academic achievement is defined by examination marks, teachers’ given grades and percentiles in academic subjects. Rickson (1977) views achievement within any context as performance relative to some standard and he further states that academic achievement and other dimensions of learning can be measured by a variety of yardsticks or measuring instruments, the results of which are types of scores, ranks or grades. Van den Aardweg and Van den Aardweg (1988) regard achievement as a product which can be measured by means of achievement tests and is usually associated with mental success. For this study, the respondents’ examination results were used as measures of academic achievement (Ofori, 2017: 64-65)
Terjemahan :
Salah satu komponen konsep diri adalah konsep diri akademik. Menurut Trautwein, Lüdtke, Köller, dan Baumert (2006) konsep diri akademik disebut sebagai evaluasi diri seseorang mengenai domain atau kemampuan akademik tertentu. Pembelajaran dalam konsep diri akademik sebagian besar terfokus pada anak-anak di sekolah subjek seperti bahasa, matematika dan pokok bahasan lainnya.
Konsep diri adalah istilah penting untuk psikologi sosial dan humanistik. Lewis (1990) mengemukakan bahwa pengembangan konsep diri memiliki dua aspek:
·    Diri Eksistensial
Ini adalah 'bagian paling mendasar dari skema diri atau konsep diri; rasa terpisah dan berbeda dari orang lain dan kesadaran akan keajegan diri '(Bee, 1992). Anak menyadari bahwa mereka ada sebagai entitas terpisah dari orang lain dan bahwa mereka terus ada seiring waktu dan ruang.              
Menurut kesadaran Lewis tentang eksistensial diri dimulai semuda dua hingga tiga bulan dan muncul sebagian karena hubungan yang dimiliki anak dengan dunia. Misalnya, anak itu tersenyum dan seseorang tersenyum kembali, atau anak itu menyentuh ponsel dan melihatnya bergerak.
·    The Categorical Self
Setelah menyadari bahwa ia ada sebagai makhluk yang terpisah, anak berikutnya menjadi sadar bahwa ia juga merupakan objek di dunia.
Sama seperti benda-benda lain termasuk orang yang memiliki sifat-sifat yang dapat dialami (besar, kecil, merah, halus dan sebagainya) sehingga si anak menjadi sadar akan dirinya sebagai objek yang dapat dialami dan yang memiliki sifat-sifat Diri juga dapat dimasukkan ke dalam kategori seperti usia, jenis kelamin, ukuran atau keterampilan.
Pada anak usia dini, kategori anak-anak berlaku untuk diri mereka sendiri sangat konkrit. Kemudian, deskripsi diri juga mulai memasukkan referensi ke sifat psikologis internal, evaluasi komparatif dan bagaimana orang lain melihatnya.
Carl Rogers (1959) percaya bahwa konsep-diri memiliki tiga komponen yang berbeda:
•    Pandangan kita tentang diri sendiri (citra diri)
•    Berapa banyak nilai yang kita tempatkan pada diri sendiri (harga diri atau harga diri)
•    Apa yang kami harap Anda benar-benar sukai (diri ideal)
Orang dengan konsep diri yang baik cenderung lebih menerima orang lain. Harga diri yang tinggi terkait dengan kemerdekaan dan pikiran terbuka. Disonansi antara konsep diri seseorang dan pengalaman aktual adalah sumber kecemasan kronis dan bahkan dapat menyebabkan gangguan mental (Narasimhan, 2018: 152-153)
Dalam penyelidikan prestasi akademik pada mahasiswa Afrika-Amerika (Cokley 2000), ada korelasi positif yang kuat antara konsep diri akademik dan nilai rata-rata (IPK). Itu juga menemukan bahwa siswa dengan IPK tinggi secara statistik skor konsep diri akademik yang lebih tinggi daripada siswa dengan IPK rendah. Dalam sebuah studi oleh Kobal dan Musek (2001), siswa-siswa Perancis ternyata lebih berhasil di sekolah daripada orang Slovenia dan lebih lanjut menyatakan bahwa temuan mendukung kemungkinan bahwa pencapaian akademik yang lebih tinggi dari siswa Perancis sebagian besar terkait dengan diri akademik mereka yang lebih tinggi. -konsep. Chowdhury dan Pati, di Awan et al. (2011) menegaskan bahwa "konsep diri memainkan peran penting dalam proses pendidikan ketika seorang anak diterima, disetujui, dihormati dan disukai, dan seseorang akan memiliki kesempatan untuk memperoleh sikap penerimaan diri dan menghormati diri sendiri". Menurut Wang dan Lin, di Awan et al. (2011), konsep diri dilihat sebagai keyakinan umum yang dirasakan individu tentang diri mereka sendiri dan tingkat konsep diri individu meramalkan sejauh mana ia mampu menyelesaikan tugas akademik dengansukses atau tidak berhasil. Mereka lebih jauh menyatakan bahwa sebagian besar minat sebelumnya pada konsep diri versus hubungan prestasi berasal dari keyakinan bahwa konsep diri akademik memiliki fungsi motivasi dan dengan demikian, perubahan dalam konsep diri akademik akan menyebabkan perubahan dalam pencapaian akademik berikutnya.
Menurut Chowdhury dan Pati, di Awan et al. (2011), prestasi akademik didefinisikan oleh tanda ujian, nilai yang diberikan guru dan persentil dalam mata pelajaran akademik. Rickson (1977) memandang pencapaian dalam konteks apa pun sebagai kinerja relatif terhadap beberapa standar dan ia lebih lanjut menyatakan bahwa prestasi akademik dan dimensi lain dari pembelajaran dapat diukur dengan berbagai tolok ukur atau alat ukur, yang hasilnya adalah jenis skor, peringkat atau nilai. Van den Aardweg dan Van den Aardweg (1988) menganggap pencapaian sebagai produk yang dapat diukur dengan tes prestasi dan biasanya dikaitkan dengan kesuksesan mental. Untuk penelitian ini, hasil pemeriksaan responden digunakan sebagai ukuran prestasi akademik (Ofori, 2017: 64-65)
In the shavelson at al. Model,  academic self-concept in on component of overall self-consept, and reading. Support for the construct validity of sdq interpretations and the shavelaon et al.  Model requires that academic achievement be correlated more poaitively with academic self-concept and that verbal and math achievement be correlated meor positively with academic self-concept that with nonacademic or overal self-concept and that verbal and math achiement indicators be correlate more highly with self-concept. In the most extensive meta-analysis of the achievement/self-concept relationship. Byrne (1984) also found that nearly all studies report thet self-concept is correlated more strongly with academic self-concept than with general self-concept. This search supporta the saparation of academic self-concept from general and nonacademic componenta of self-concept and that a relation is present between academic self-concept and academic achievement. The purpose of this section is to review briefly research that explores this relationship (Phye, 1997: 148)
Tejemahan :
Dalam shavelson di al. Model, konsep-diri akademik pada komponen konsistensi diri secara keseluruhan, dan membaca. Dukungan untuk validitas konstruk dari interpretasi sdq dan shavelaon et al. Model mensyaratkan bahwa prestasi akademik dikorelasikan lebih sesuai dengan konsep diri akademik dan bahwa prestasi verbal dan matematika berkorelasi positif dengan konsep diri akademik yang dengan konsep diri non-akademik atau berlebihan dan bahwa indikator prestasi verbal dan matematika berkorelasi lebih tinggi dengan diri sendiri. -konsep. Dalam meta-analisis yang paling luas dari pencapaian / konsep diri hubungan. Byrne (1984) juga menemukan bahwa hampir semua studi melaporkan konsep diri berkorelasi lebih kuat dengan konsep-diri akademik daripada dengan konsep-diri umum. Pencarian ini mendukung saparasi konsep diri akademik dari komponen umum dan nonakademik konsep diri dan bahwa ada hubungan antara konsep diri akademik dan prestasi akademik. Tujuan dari bagian ini adalah untuk meninjau secara singkat penelitian yang mengeksplorasi hubungan ini.
Model pembelajaran pencapaian konsep juga dapat membantu siswa untuk dapat mingkatakan prestasi belajarnya disekolah. According to Basapur (2018: 246) The retention is another dependent variable is the root cause of intelligence, proper understanding and meaningful fixing of concept for long time. The attitude is most environment influencible factor determines the strength of one's love towards concept learning. The concept attainment model is effective in improving achevement, retention and attitude towards science among different ability students.
Terjemahan :
            Menurut Baspur (2018: 246) mengatakan Retensi adalah variabel dependen lainnya adalah akar penyebab kecerdasan, pemahaman yang tepat dan pemantapan konsep yang bermakna untuk waktu yang lama. Sikap adalah faktor yang paling mempengaruhi lingkungan menentukan kekuatan cinta seseorang terhadap pembelajaran konsep. Model pencapaian konsep efektif dalam meningkatkan pencapaian, retensi dan sikap terhadap sains di antara siswa kemampuan yang berbeda.
Model pembelajaran pencapain konsep, didasarkan pada pernyataan bahwa lingkungan penuh dengan makhluk luar biasa yang tidak memiliki kapsitas untuk mendiskriminasikan. Proses mengklasifikasikan hal-hal ini dalam kelompok, menguntungkan manusia dalam tiga cara. According to Singh (2008: 189) Jerome S. Bruner, Jacqueline Goorow and George Austine developed the concept attainment model of teaching in 1956. The model emerged out of the study of thinking process in human beings: it is based on the assertion that environment is full of tremendously beings had not been endowed with the capacity to discriminate and to categories things in groups. This process of classifying things in group, benefits human beings in three ways. First, it reduces the complexity of the environment, second it gives the means by which we identify the objects in the world and third it reduces the necessity of constant learning.
Terjemahan :
            Menurut Singh (2008: 189) Jerome S. Bruner, Jacqueline Goorow dan George Austine mengembangkan model pencapaian konsep pengajaran pada tahun 1956. Model ini muncul dari studi tentang proses berpikir dalam manusia: hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa lingkungan penuh dengan makhluk luar biasa yang tidak memiliki kapasitas untuk mendiskriminasikan dan mengkategorikan hal-hal dalam kelompok. Proses mengklasifikasi hal-hal ini dalam kelompok, menguntungkan manusia dalam tiga cara. Pertama, ia mengurangi kompleksitas lingkungan, kedua itu memberi sarana dengan mana kita mengidentifikasi objek di dunia dan ketiga itu mengurangi kebutuhan pembelajaran yang konstan.
Model pembelajaran berbasis pencapaian konsep, lebih menekankan pada perkembangan kognitif. According to Siddiqui (2008: 112) As far as the concept attainment model is concerned, the emphasis is given more to cognitive development, and from the theories of learning it is clear that the cognitive development facilitates more learning. The most important aim of this model is to acquaint the students with the pre-existing concepts. The researcher was able to do the task. The researcher presented the materials before the students through the model was so organized that students were able to acquire the concept easily. Concept attainment model also shapes the behaviour of students in an organized way through presenting the subject material in systematic way. Bruner and his associates (1977) have emphasised that thinking ability of learner supports the concept building strategies.
Terejmahan :
            Menurut Siddiqui (2008: 112) Sejauh menyangkut model pencapaian konsep, penekanan diberikan lebih pada perkembangan kognitif, dan dari teori-teori pembelajaran jelas bahwa perkembangan kognitif memfasilitasi lebih banyak pembelajaran. Tujuan yang paling penting dari model ini adalah untuk memperkenalkan siswa dengan konsep yang sudah ada sebelumnya. Peneliti mampu melakukan tugas itu. Peneliti mempresentasikan materi sebelum siswa melalui model sangat terorganisir sehingga siswa dapat memperoleh konsep dengan mudah. Model pencapaian konsep juga membentuk perilaku siswa dengan cara yang terorganisir melalui penyajian materi subjek secara sistematis. Bruner dan rekan-rekannya (1977) telah menekankan bahwa kemampuan berpikir peserta didik mendukung strategi membangun konsep.
2.4. Dampak Pencapaian Konsep
Review of the literature regarding the impact of non-academic self-concept on academic achievement shows inconsistency in findings. According to Suntonrapot et al. (2009), non-academic self-concept can produce causes not only in the classroom but also outside the classroom. Non-academic self-concept can provide much more information than academic self-concept for improving students’ skills, characters, social, behavior and academic achievement. The importance of non-academic self-concept is further highlighted by William (1993) as he felt that many researchers have neglected the roles of non-academic self-concept in academic achievement whereas non-academic self-concept is closely related to students’ life. The findings of Hasenzadeh, Hussini, and Moradi (2004) and Suntonrapot et al. (2009) demonstrated that there is a relationship between non-academic self-concept and academic achievement. The findings by Chong (2007) reported a positive correlation between non-academic self-concept and academic achievement but the relationship is weak for children in remedial classes as compared to students in normal classes. Hence, the findings show evidence of a positive relationship between non-academic self-concept and academic achievement. However, this is not agreeable by Sànchez and Roda (2003) as their study indicated that non-academic self-concept is a negative predictor of academic achievement. On the other hand, the report of Marzuki (2002) based on the Malaysian samples review found no relationship between non-academic self-concept and academic self-concept with academic achievement (Ishak,2014 : 184-185)
H.-j. Liu (2009) study on college student suggest that there is need for teachers to be concerned about students’ academic self-concept as they may be important determinants of their relative performance in different academic domains.
The most recent study by Matovu (2012) from International Islamic University Malaysia (IIUM) focused on academic self-concept and academic achievement among university students. The researcher used the Academic Self-concept Scale (ASC) by Liu & Wang (2005). According to Matovu (2012) theories and models that explain academic self-concept and academic achievement have shown no proof of whether prior academic self-concept influences academic achievement or prior academic achievement causes subsequent academic self-concept. Gender has been stressed to influence academic self-concept and academic achievement in various study done on gender, self-worth, and academic achievement among students according to Matovu (2012). Plus there are statistically differences were shown in faculties on academic achievement.
Kaba and Talek (2015) studies focused on the academic self-concept subscale, the academic confidence and academic effort using the W. Liu and Wang (2005) academic self-concept scale. Their research discovered applicable implications in the teaching and learning process among university students. The first one is that the instructor or lecturer should consider gender and the student’s faculty in providing teaching instructions but not the level of their study (e.g degree level or master level). Secondly, there are age differences in academic effort and academic achievement, and instructors should be aware that academic efforts are contributor to their academic achievement. Finally Kaba and Talek (2015) suggested it is crucial to develop the students confidence in their competence and be interested and motivated in learning so that they can put more effort in their coursework and continue to make progress.
Academic achievement can be measure through grades (Guay et al., 2010; Garzarelli and Lester, 2001), specific subject test such as the Key Stage 3 in England (Ireson & Hallam, 2009) and Cumulative Grade Point Average (Cokley, 2000; Matuvo, 2012; Kaba and Talek, 2015). However according to Peixoto and Almeida (2010), prevoius research into academic achievement shows no differences despite using differences academic evaluation.
Guay et al. (2010) research focused on two motivational factors regularly associated with academic achievement, which is autonomous and academic self-concept. Herbert W. Marsh, Trautwein, Lüdtke, Köller, and Baumert (2005) have also suggested that improving student academic achievement without enhancing self-concept in related academic domains is most likely to lead to only short term gain.
Previous study on academic achievement usually be combined with another variable such as motivation for example in Emmanuel, Adom, Josephine, and Solomon (2014). This research investigates the importance of achievement motivation and academic self-concept to academic achievement. The finding in academic achievement shows that male students have higher academic achievement than the female students, which is somehow vary from the usual believe that female students have better academic achievement. The main factor that may influence this is the level of motivation among the male students is higher than the female. A study by Sikhwari (2014) found that the female students have higher motivation, thus, the female have higher academic achievement (Mazlan, 2017:71-73)
Terjemahan :
Tinjauan literatur tentang dampak konsep diri non-akademik pada prestasi akademik menunjukkan inkonsistensi dalam temuan. Menurut Suntonrapot dkk. (2009), konsep diri non-akademik dapat menghasilkan penyebab tidak hanya di ruang kelas tetapi juga di luar kelas. Konsep diri non-akademik dapat memberikan lebih banyak informasi daripada konsep diri akademik untuk meningkatkan keterampilan siswa, karakter, sosial, perilaku dan prestasi akademik. Pentingnya konsep diri non-akademik lebih disorot oleh William (1993) karena ia merasa bahwa banyak peneliti telah mengabaikan peran konsep diri non-akademik dalam prestasi akademik sedangkan konsep diri non-akademik terkait erat dengan siswa. kehidupan. Temuan Hasenzadeh, Hussini, dan Moradi (2004) dan Suntonrapot dkk. (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep diri non-akademik dan prestasi akademik. Temuan oleh Chong (2007) melaporkan korelasi positif antara konsep diri non-akademik dan prestasi akademik tetapi hubungan lemah untuk anak-anak di kelas remedial dibandingkan dengan siswa di kelas normal. Oleh karena itu, temuan menunjukkan bukti hubungan positif antara konsep diri non-akademik dan prestasi akademik. Namun, ini tidak disetujui oleh Sànchez dan Roda (2003) karena penelitian mereka menunjukkan bahwa konsep diri non-akademik adalah prediktor negatif dari prestasi akademik. Di sisi lain, laporan Marzuki (2002) berdasarkan tinjauan sampel Malaysia tidak menemukan hubungan antara konsep diri non-akademik dan konsep diri akademik dengan prestasi akademik ( Ishak, 2014: 184-185)
H.-j. Liu (2009) studi pada mahasiswa menunjukkan bahwa ada kebutuhan bagi guru untuk khawatir tentang konsep diri akademik siswa karena mereka mungkin penentu penting dari kinerja relatif mereka dalam domain akademik yang berbeda.
Menurut Matovu (2012) teori dan model yang menjelaskan konsep diri akademik dan prestasi akademik tidak menunjukkan bukti apakah konsep diri akademik sebelumnya mempengaruhi prestasi akademik atau prestasi akademik sebelumnya menyebabkan konsep diri akademik berikutnya. Jenis kelamin telah ditekan untuk mempengaruhi konsep diri akademik dan prestasi akademik dalam berbagai studi yang dilakukan pada gender, harga diri, dan prestasi akademik di kalangan siswa menurut Matovu (2012). Plus ada perbedaan statistik yang ditunjukkan di fakultas pada pencapaian akademik.
Kaba dan Talek (2015) studi difokuskan pada subskala konsep diri akademik, kepercayaan akademik dan upaya akademis menggunakan W. Liu dan Wang (2005) skala konsep diri akademik. Penelitian mereka menemukan implikasi yang berlaku dalam proses belajar mengajar di kalangan mahasiswa. Yang pertama adalah bahwa instruktur atau dosen harus mempertimbangkan jender dan fakultas siswa dalam memberikan instruksi pengajaran tetapi bukan tingkat studi mereka (misalnya tingkat gelar atau tingkat master). Kedua, ada perbedaan usia dalam upaya akademis dan prestasi akademik, dan instruktur harus menyadari bahwa upaya akademis adalah kontribusinya terhadap prestasi akademik mereka.Akhirnya Kaba dan Talek (2015) menyarankan bahwa sangat penting untuk mengembangkan kepercayaan diri siswa dalam kompetensi mereka dan tertarik serta termotivasi dalam belajar sehingga mereka dapat lebih berupaya dalam pelajaran mereka dan terus membuat kemajuan.
Prestasi akademik dapat diukur melalui nilai (Guay et al., 2010; Garzarelli dan Lester, 2001), tes subjek khusus seperti Key Stage 3 di Inggris (Ireson & Hallam, 2009) dan Cumulative Grade Point Average (Cokley, 2000; Matuvo, 2012; Kaba dan Talek, 2015). Namun menurut Peixoto dan Almeida (2010), penelitian prevoius ke prestasi akademik tidak menunjukkan perbedaan meski menggunakan perbedaan evaluasi akademik.

Guay dkk. (2010) penelitian difokuskan pada dua faktor motivasi secara teratur terkait dengan prestasi akademik, yang otonom dan konsep diri akademik. Herbert W. Marsh, Trautwein, Lüdtke, Köller, dan Baumert (2005) juga menyarankan bahwa meningkatkan prestasi akademik siswa tanpa meningkatkan konsep diri dalam domain akademik yang terkait kemungkinan besar hanya mengarah pada keuntungan jangka pendek.
Studi sebelumnya pada prestasi akademik biasanya digabungkan dengan variabel lain seperti motivasi misalnya di Emmanuel, Adom, Josephine, dan Solomon (2014). Penelitian ini mengkaji pentingnya motivasi berprestasi dan konsep diri akademik terhadap prestasi akademik. Temuan dalam prestasi akademik menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi daripada siswa perempuan, yang entah bagaimana bervariasi dari kepercayaan biasa bahwa siswa perempuan memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Faktor utama yang dapat mempengaruhi ini adalah tingkat motivasi di antara siswa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sebuah studi oleh Sikhwari (2014) menemukan bahwa siswa perempuan memiliki motivasi yang lebih tinggi, dengan demikian, perempuan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi (Mazlan, 2017: 71-73)
Dengan adanya model pembelajaran bebasis pencapain konsep, para guru dapat mempelajari bagaimana keberagaman karakteristik pemahaman dari peserta didiknya. According to Basapur (2018: 247) To study the effect of concept attainment model on achievement in science  among 9th standard students. To study the effect of concept attainment model on attitude towards science among 9th standard students. To study the effect of concept attainment model on retention of science concept among 9th standard students. To compare the effect of concept attainment model on acievement in science among boy and girl students of 9th standard.


Terjemahan :
            Menurut Basapur (2018: 247) Untuk mempelajari pengaruh model pencapaian konsep terhadap prestasi dalam sains di antara 9 siswa standar. Untuk mempelajari pengaruh model pencapaian konsep pada sikap terhadap sains di antara 9 siswa standar. Untuk mempelajari pengaruh model pencapaian konsep pada retensi konsep sains di antara 9 siswa standar. Untuk membandingkan pengaruh model pencapaian konsep pada prestasi dalam sains di antara siswa laki-laki dan perempuan dari standar 9.
2.5. Unsur Unsur Model Pencapaian Konsep
Bruce,  dkk  (1992)     mengemukakan bahwa model concept attainment memiliki unsur-unsur sebagai berikut:                       
Tahap-tahap pelaksanaan
Tahap-tahap    pelaksanaan    concept attainment adalah  tahap-tahap  kegiatan dar concept attainment yang memiliki tiga fase sebagai berikut:                                         
1.  Fase  pertama:  Penyajian  data  dan identifikasi konsep                         
a)  Guru menyajikan contoh yang telah diberi nama konsep                         
b) Siswa membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh
c.) Siswa membuat hipotetis dan menguji hipotesis
d.) siswa membuat definisi tentang konsep dari ciri ciri esensial
2. Fase Kedua: menguji pencapaian konsep
a) siswa mengidentifikasi contoh yang tidak diberi nama konsep dan menyatakan kembali definisi konsep dengan mengatakan "ya" atau "bukan"
b) Guru menegaskan hipotetis, nama konsep dan menyatakan definisi konsep sesuai dengan ciri ciri esensial
c) siswa membuat (memberikan) contoh
3. Fase Ketiga : Analisis strategi berfikir
a) siswa mengungkapkan pikirannya
b) siswa mendiskusikan hipotesis dan ciri ciri konsep
c) siswa mendiskusikan tipe dan macam hipotetis
b. Sistem Sosial
Sistem sosial  concept attainment adalah situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model pencapaian konsep. Model ini memiliki struktur yang moderat. Guru melakukan pengendalian terhadap aktivitas siswa tetapi tetap pembelajaran dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas. Dengan pengorganisasian seperti itu, siswa diharapkan lebih memperhatikan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri selama proses pembelajaran.
C. Prinsip Prinsip pengelolaan/reaksi
Prinsip Prinsip pengelolaan/reaksi dari model concept attainment adalah :
1) memberikan dukungan dengan menitikberatkan pada sifat hipotetis dari diskusi diskusi yang sedang berlangsung.
2) memberikan bantuan kepada siswa dalam mengembangkan hipotetis
3) memusatkan perhatian siswa terhadap contoh contoh spesifik
4) memberikan bantuan kepada siswa dalam mendiskusikan dan menilai strategi berpikir yang mereka pakai.
d.   Sistem Pendukung
      Sistem pendukung model concept attainment adalah segala sarana, bahan, dan bahan yang diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran concept attainment. Sarana pendukung yang diberikan bisa berupa gambar, foto, diagram, slide, tape recorder, lembar kerja siswa, dan yang lainnya (Sumartini, 2015: 52-53)

Kajian Kriitis
Konsep didefinisikan secara ostensif, artinya dapat diidentifikasi dengan menunjuk entitas tertentu memiliki keberadaan yang nyata (yaitu benda fisik). Namun, ditetapkan konsep adalah kategorisasi abstrak, sering didefinisikan dalam hubungannya  dengan konsep lain (yaitu demokrasi, kebebasan, teman). Konsep yang ditetapkan  mungkin lebih menantang belajar karena sifat abstrak dan kurang nyata. Konsep disusun  secara efisien ke dalam struktur hirarkis yang menandakan hubungan dengan konsep lainnya. Struktur ini membentuk taksonomi yang menggambarkan bagaimana mengkoordinasikan, mengaudit, mengkoordinasikan, dan mengasosiasikan konsep bawahan satu sama lain.
Model concept attainment lebih memfokuskan pada pengembangan berpikir kritis siswa dalam bentuk menguji hipotesis. Dalam pembelajaran harus ditekankan pada analisis siswa terhadap hipotesis yang ada dan mengapa hipotesis itu diterima, dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus dilatih dalam menciptakan jenis-jenis kesimpulan, seperti membuat contoh penyangkal atau non-contoh, dan sebagainya. Penerapan model pembelajaran ini sangat menekankan pada dua aspek tersebut, yaitu pengembangan konsep dan korelasi antara konsep yang terkait erat, serta latihan berpikir kritis terutama dalam merumuskan dan menguji hipotesis.
Dalam model pencapaian konsep diketahui bahwa dalam proses berpikir sang anak atau peserta didik memiliki tingkat-tingkat pencapaian konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan tingkat formal.
Adapun tahap-tahap penerapan model pembelajaran penemuan konsep adalah sebagai berikut, pertama, melibatkan penyajian data pada pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan negatif setiap data yang diberikan merupakan konsep dan memiliki gagasan umum: tugas siswa adalah menggambarkan satu hipotesis tentang sifat dari konsep tersebut. Para pembelajar diminta untuk membandingkan dan memverifikasi sifat-sifat dari contoh-contoh yang positif dan negatif. Pada akhirnya siswa diminta untuk memahami konsep-konsep mereka.
Kedua, siswa menguji penemuan konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari hipotesis siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan sebagaimana mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
model pembelajaran ini merupakan perangkat evaluasi unggul saat guru ingin mengetahui sejauh mana siswa mampu menguasai gagasan penting yang mereka ajarkan dan dapat memberikan laporan tentang kedalaman pemahaman siswa sekaligus memperkuat pengetahuan mereka sebelumnya. Model pencapaian konsep (Concept Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan. Selain itu adanya pemilihan         non      contoh pada    model pembelajaran ini membuat siswa membandingkan ciri-ciri dalam contoh dan non contoh. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dalam proses pembelajaran diantaranya penggunaan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Pemilihan model pembelajaran dan penggunaan media dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
menurut model, konsep diri siswa dalam satu pembelajaran dalam satu subjek pembelajaran memberikan pengaruh positif pada prestasinya dalam hal yang sama, tetapi efek negatif pada prestasi di bidang lain dalam subjek pembelajaran yang lain. Model menunjukkan bahwa bersebelahan dengan konsep diri akademik yang lebih tinggi cenderung menginvestasikan lebih banyak waktu untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran dalam subjek pembelajaran koresponden: di sisi lain, waktu yang dihabiskan untuk belajar untuk mata pelajaran lain akan menurun secara relatif.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan                                               
Model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep pada siswa, dimana guru mengawali pengajara dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep (concept attainment) merupakan proses mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori.
Dalam model pencapaian konsep diketahui bahwa dalam proses berpikir sang anak atau peserta didik memiliki tingkat-tingkat pencapaian konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan tingkat formal. Adapun tahap-tahap penerapan model pembelajaran penemuan konsep adalah pertama, melibatkan penyajian data pada pembelajar, dalam bentuk contoh positif dan negatif setiap data yang diberikan merupakan konsep dan memiliki gagasan umum. Kedua, siswa menguji penemuan konsep mereka, setelah itu guru dapat menilai benar atau salah dari hipotesis siswa, kemudian guru merevisi pilihan konsepyang mereka tentukan sebagaimana mestinya. Ketiga, siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran, siswa mendiskusikan peranan sifat-sifat dan hipotesis-hiotesis dan siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis.
Model pencapaian konsep termasuk salah satu jenis model pembelajaran yang dapat mengolah informasi yang bertitik berat pada cara-cara untuk memperkuat dorongan internal siswa dalam memahami ilmu pengetahuan. Model pencapaian konsep (Concept Attainment Model) sengaja dirancang untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep yang dapat dipakai untuk mengorganisasikan informasi sehingga dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk mempelajari konsep-konsep itu dengan cara yang lebih efektif.

3.2. Saran
Dalam penyusnan makalah ini, penyususn sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi semaksimal mungkin. Tetapi tidak menuutup kemungkinan adanya kekeliruan pada penyusunannya. Oleh karena itu penyusun mengharapkan pembaca untuk menyempurnakan makalah selanjutnya dan harapan bagi penyusun semoga makalah inni dapat memberi manfaat dalam proses pembelajaran sttategi melajar mengajar fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani. 2015. Problema dan Aksioma Dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia.
                  Yogyakarta. Deepublish
Basapur, Jagadeesh. 2018. Concept Attainment Strategy In Science Discipline. Unites States:
                Lulu Publication.
Darmandi. 2017. Pengembangan model dan metode pembelajaran dalam dinamika belajar
                siswa. Deepublish: CV Budi utama
Ishak, Low Suet Fin and Zahari . 2014. Non-academic self concept and academic
          achievement: the indirect effect mediated by academic self consept.  Journal in
          Organizational Psychology & Educational Studies 3(3) 184-188. ISSN: 2276-84
Laela, Farihatul Faizah, Sugiyarto dan Suparmi. 2018.  Pembelajaran IPA menggunakan
         consept attaiment model dengan media rill dan media gambar di tinjau dari  
          kemampuan berfikir kognitif dan persepsi kreativitas siswa. Jurnal inkuiri. ISSN: 2252-
          7893, Vol. 7, No. 1
Lone, Parveez Ahmad and Tariq Ahmad Lone.2016. As sudy on relation between self concept
           and academic achievement among secondary school students of dammu district.
           Journal of Education and Practice. ISSN 2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X (Online)
           Vol.7, No.31
Mazlan, siti norlia dan abdul rahim mohd meerah. 2017. Relationship between academic self
              concept and academic achiment among uttm centre of fottball athletes. International
             Journal of Management and Applied Science, ISSN: 2394-7926. Volume-3
Nando, Farida. T, H. Fihrin dan H. Muhammad. 2016. Penerapan model pembelajaran
            pencapaian konsep untuk peningkatan pemahaman konsep Fisika  pada siswa kelas X
            SMA Negeri 8 Palu. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 4 No. 4 ISSN
            2338 3240
Narasimhan, Pavithra. 2018. Self – Concept and achievement motivation as a predictor of
                    academic stress among high school students of ICSE board, chennai. The
                     International Journal of Indian Psychology ISSN 2348-5396 (e) | ISSN: 2349-
                     3429. Volume 6
Ofori, Alex, dkk. 2017. Relationship between motivation, academic self-concept and
                     academic achievement amongst students at a Ghanaian Technical University.
                      International Journal of Human Resource Studies. ISSN  2162-3058.  Vol.  7, 
                      No. 1

Prabhakaram. 2006. Concept Attainment Model In Mathematics Teaching. New Delhi:  
                       Discovery Publishing House.
Phye, Gary D. 1997. Hand book of classroom assessmet learning, achievement, and
           adjustment. Lowa: Department of psychology lowa state university
Riadawati. Dkk. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran Concept Attainment Terhadap
                   Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa di Kelas XI IPA SMAN 11
                  Bulukumba. Jurnal Biotek. Vol. 5, No. 2.
Sahara, LA. 2015. Penerapan medel consept teaching pendekatan consept attaimment untuk
             meningkatkan pemahaman konsep IPA FISIKA siswa kelas VIII, SMP NEGERI 5
            KENDARI pada materi pokok usahan dan energi. Jurnal Pendidikan Fisika dan
            Teknologi. ISSN. 2407-6902. Volume I No 2. 
Sanjaya wina dan andi budimanwijaya. 2017. Peradigma baru mengajar. Jakarta: PT.
              Balebat dedikasi prima
Siddiqui. 2008. Excellence Of Teaching. New Delhi: S.B. Nangia.
Singh. 2008. Education Technology: Teaching Learning. New Delhi: S.B. Nangia.
Situmorang, Adi Suarman. 2013. Peningkatan kemampuan pemahaman dan kreativitas
                   matematis siswa dengan menggunakan model pencapaian konsep. jurnal
                   Penelitian Bidang Pendidikan. Vol 19 n0 1. ISSN 0852-0151
Sumartini, Tina sri. 2015. Mengembangkan self concept siswa melalui model pembelajaran
                  concept attainment. Jurnal pendidikan matematika vol.4 no. 2. Issn: 2086-4280
Yunita, yuyun, dkk. 2017. Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multietnik.
              Deepublish: CV Budi utama
Yulhendri dan Rita Syofyan. 2016. Pendidikan Ekonomi untuk Sekolah Menengah
                Perencanaan, Strategi, dan Materi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL INQUIRY

MAKALAH MODEL PBL (PROBLEM-BASED LEARNING)”

MAKALAH REMEDIAL